Penulis: N. Firman | Editor:
Oleh: Bernardus Tube Beding
(Pegiat Literasi dan Dosen Prodi PBSI Unika Santu Paulus Ruteng)
Tulisan ini bercermin dari pengalaman saya bersama empat sahabat ketika memenuhi tugas perkuliahan jurnalistik dan keredaksian sebagai wartawan investigasi. Saya bersama empat orang teman dipercayakan untuk melakukan investigasi daerah Pasar Kembang Yogyakarta. Lebih dari itu, tulisan ini merupakan “remah-remah” hasil investigasi kami. Tentu, kita semua tahu daerah ini sebagai lokalisasi atau tempat pelacuran yang sudah menjadi ‘rahasia umum’.
Pekerja seks atau pelacur di Pasar Kembang Yogyakarta itu menolak untuk datang ke Klinik Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) karena takut pengunjung yang lain akan bubar jika melihat bahwa klinik itu juga melayani pemeriksaan penyakit menular seksual bagi para pelacur. Hal itu dinyatakan ketika saya dan keempat sahabat saya menyertai para relawan PKBI membagikan kondom di kompleks mereka. Ketika mereka melihat ada ibu-ibu relawan PKBI ikut dalam latihan senam bersama mereka di aula PKBI, mereka tampak senang dan terharu. Kok ada orang baik-baik yang mau bergaul dengan mereka.
Para pelacur pun mengetahui bahwa mereka dianggap rendah oleh anggota masyarakat yang lain, termasuk oleh sesama kaumnya. Mereka agaknya masih menghargai tata nilai meskipun mereka dianggap berada di luar itu. Mereka tahu bahwa mereka dianggap buruk dan orang lain adalah yang baik-baik. Mereka pun sebenarnya masih dapat berbincang secara sopan dan santun, jika kita pun menyapa mereka dengan sopan dan santun. Tetapi toh mereka dianggap “tuna susila”, bahkan oleh kaum wanita sendiri.
CATATAN REDAKSI: apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada redaksi kami EMAIL.
Sebagaimana diatur dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.