
Penulis: Tim | Editor: Redaksi
RUTENG, FAJARNTT.COM – Kementerian HAM menetapkan Unika Santu Paulus Ruteng sebagai garda depan pengembangan pusat studi HAM di Indonesia, sebuah langkah strategis yang diharapkan menjadikan NTT episentrum gerakan HAM nasional. Keputusan ini diwujudkan melalui rencana pembentukan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PusHAM) di kampus tersebut, sebagai pusat riset, advokasi, dan penggerak gerakan kemanusiaan berbasis masyarakat.
Penetapan ini ditegaskan dalam pertemuan resmi antara tim KemenHAM dengan pimpinan Unika Santu Paulus Ruteng, pada Kamis, 4 September 2025, yang merupakan tindak lanjut dari kunjungan Menteri HAM Natalius Pigai beberapa waktu lalu.
Staf Khusus Menteri HAM, Thomas Harming Suwarta, menilai pendirian PusHAM di Unika Ruteng sebagai langkah penting untuk keluar dari jebakan teoretis yang selama ini melingkupi wacana HAM.
Menurutnya, banyak diskusi HAM berhenti pada bahasa hukum, konstitusi, atau seminar akademik, sementara masyarakat di akar rumput masih sulit memahami dan merasakan manfaat nyata dari gagasan itu.
“Kalau selama ini HAM lebih banyak dibicarakan dalam bahasa hukum dan politik, kini kita ingin HAM masuk dalam bahasa sehari-hari. Kampus bisa membuat konsep rumit menjadi sederhana dan langsung dirasakan rakyat,” ujarnya.

Peran Kampus
Thomas menegaskan bahwa kampus memiliki peran unik. Selain melahirkan pengetahuan kritis, kampus juga dekat dengan masyarakat melalui kegiatan pengabdian dan riset.
Menurutnya, kombinasi itu menjadikan kampus seperti Unika Ruteng strategis untuk menjembatani teori besar HAM dengan kenyataan di lapangan.
Ia mencontohkan isu-isu mendasar seperti pangan, kesehatan, pendidikan, hingga perlindungan kelompok rentan. Selama ini isu-isu tersebut sering dibicarakan dalam kerangka hukum atau kebijakan, tetapi kurang menyentuh pengalaman sehari-hari masyarakat desa.
Dengan hadirnya PusHAM, kampus dapat mengubah isu-isu itu menjadi program nyata, misalnya pendampingan masyarakat, advokasi kebijakan lokal, atau riset aplikatif.
“Nilai HAM tidak boleh berhenti sebagai doktrin akademik. Ia harus menjadi cara hidup bersama yang melindungi dan menumbuhkan martabat manusia, terutama di daerah seperti NTT yang masih bergulat dengan berbagai persoalan mendasar,” tambah Thomas.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa agenda HAM nasional kini diarahkan untuk turun langsung ke desa. Pada 2026, KemenHAM meluncurkan dua program besar: Desa Sadar HAM dan Kampung Redam (Rekonsiliasi dan Perdamaian). Kedua program ini akan menyasar 2.000 titik di seluruh Indonesia, menempatkan desa sebagai ruang utama pembelajaran HAM.
Menurut Thomas, keberhasilan dua program ini sangat bergantung pada fondasi akademik yang kuat. Riset yang dilakukan kampus, masukan kebijakan yang dihasilkan, hingga keterlibatan mahasiswa dalam masyarakat akan menjadi energi penggerak.
“Mahasiswa tidak hanya belajar teori HAM di kelas, tetapi akan terlibat langsung dalam dinamika desa, melihat bagaimana konflik diselesaikan, bagaimana masyarakat belajar haknya, dan bagaimana perdamaian dibangun dari bawah,” jelasnya.
NTT, khususnya di Manggarai, tambah Thomas, punya potensi sosial dan budaya yang khas. Tradisi komunitas yang masih kuat bisa menjadi modal besar untuk membumikan HAM bukan sebagai konsep asing, melainkan sebagai nilai yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Rektor Unika Santu Paulus Ruteng, Romo Agustinus Manfred Habur, menyambut mandat KemenHAM ini dengan penekanan bahwa perjuangan HAM di NTT tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial yang keras.
Persoalan di NTT
Menurutnya, NTT masih menghadapi sederet persoalan serius: kemiskinan ekstrem, angka stunting yang tinggi, perdagangan orang, kekerasan berbasis gender, serta minimnya akses terhadap layanan dasar.
“HAM bukan hanya dokumen internasional. Bagi NTT, HAM berarti menjawab penderitaan konkret masyarakat: stunting, perdagangan orang, hingga akses minim ke hak dasar,” tegas Romo Manfred.
Ia menegaskan bahwa jika HAM hanya berhenti pada diskusi normatif, ia akan kehilangan relevansinya.
“Kita tidak bisa berbicara soal kebebasan berekspresi di ruang akademik sementara anak-anak di desa masih lapar dan stunting. HAM harus berangkat dari penderitaan nyata, dari luka sosial yang kita lihat setiap hari,” tambahnya.
Romo Manfred juga menggarisbawahi tanggung jawab moral perguruan tinggi.
Baginya, ilmu pengetahuan tidak boleh hanya berputar di ruang kuliah, tetapi harus berpihak pada mereka yang menderita.
“PusHAM ini adalah kesempatan luar biasa bagi kampus untuk membuktikan bahwa ilmu pengetahuan harus berpihak kepada manusia, terutama mereka yang paling menderita,” katanya.
Lebih jauh, Romo Manfred menekankan pentingnya riset kontekstual sebagai pijakan utama PusHAM.
Pentingnya Melakukan Riset
Menurutnya, teori besar dari luar tidak boleh diimpor begitu saja, melainkan harus disesuaikan dengan realitas lokal.
“Misalnya, penelitian tentang perdagangan orang bisa dipakai untuk melindungi tenaga kerja migran. Begitu juga riset stunting bisa menjadi pijakan pemerintah daerah dalam program gizi masyarakat. Dengan begitu, kampus hadir memberi solusi, bukan hanya wacana,” jelasnya.
Riset-riset tersebut, lanjutnya, tidak hanya menghasilkan data akademik, tetapi juga bisa memengaruhi kebijakan publik, memperkuat perlindungan hukum, dan sekaligus mengubah cara masyarakat memahami hak-haknya.
Menurut Romo Manfred, penunjukan Unika Santu Paulus Ruteng oleh KemenHAM bukan sekadar mandat akademik, melainkan juga pengakuan penting bahwa suara dari Flores dan Timur Indonesia dapat menggema ke tingkat nasional.
“Dari Ruteng kita ingin tunjukkan bahwa isu HAM bukan monopoli elite di Jakarta, tetapi suara seluruh rakyat. Flores berhak bersuara dan memberi warna dalam perjuangan kemanusiaan bangsa,” pungkasnya.(*)
Pesan Redaksi: