close menu

Masuk


Tutup x

Dugaan Pengeroyokan KAS di Polres Manggarai, PMKRI: Copot Oknum Polisi dan Hentikan Sikap Represif

Ketua Presidium PMKRI Ruteng, Margareta Kartika saat berorasi di depan kantor Bupati Manggarai pada Senin (8/9). Ketua Presidium PMKRI Ruteng, Margareta Kartika saat berorasi di depan kantor Bupati Manggarai pada Senin (8/9).
Ketua Presidium PMKRI Ruteng, Margareta Kartika saat berorasi di depan kantor Bupati Manggarai pada Senin (8/9).

Penulis: | Editor: Redaksi

RUTENG, FAJARNTT.COM – Kasus dugaan pengeroyokan terhadap seorang warga Pitak, Kecamatan Langke Rembong yang berinisial KAS (23) di ruang Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polres Manggarai pada Minggu, 7 September 2025, menambah daftar panjang praktik kekerasan aparat yang menuai sorotan publik. Insiden yang justru terjadi di ruang yang seharusnya menjadi pintu pelayanan hukum pertama bagi masyarakat ini, memantik kecaman keras dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ruteng Santo Agustinus, yang menuntut agar oknum pelaku segera dicopot dan sikap represif polisi dihentikan.

Luka Fisik dan Trauma Sosial

Akibat pengeroyokan tersebut, KAS mengalami luka lebam di wajah dan tubuh. Namun, menurut PMKRI, luka fisik bukanlah satu-satunya persoalan.

“Yang lebih berbahaya adalah trauma sosial yang ditimbulkan. Keluarga korban dan masyarakat kini kehilangan rasa aman di hadapan aparat yang semestinya melindungi mereka,” ujar Ketua Presidium PMKRI Cabang Ruteng, Margareta Kartika, dalam pernyataannya yang diterima Fajar NTT pada Kamis (11/9).

Kartika menilai peristiwa ini tidak hanya melukai individu korban, tetapi juga merusak citra Polri.

Kedai Momica

“Kerusakan citra lebih sulit dipulihkan daripada luka fisik. Begitu masyarakat kehilangan kepercayaan pada kepolisian, maka legitimasi institusi ikut tergerus,” tambahnya.

Polisi Melenceng dari Amanat Konstitusi

Kartika menegaskan bahwa insiden tersebut merupakan pengkhianatan terhadap konstitusi dan undang-undang.

Menurutnya, UUD 1945 Pasal 30 ayat (4) dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI sudah jelas menyebutkan bahwa polisi berperan dalam memelihara keamanan, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan kepada masyarakat.

“Namun yang kita lihat justru kebalikannya. Polisi berubah menjadi pelaku kekerasan. Ini jelas melenceng jauh dari perintah konstitusi,” katanya.

Ironi di Ruang SPKT Hingga Berakibat Pelanggaran HAM dan Kode Etik

PMKRI Ruteng juga menyoroti ironi lokasi kejadian, sebab SPKT adalah unit yang seharusnya menjadi garda terdepan pelayanan kepolisian.

“SPKT semestinya ruang aman bagi masyarakat untuk melapor dan mencari pertolongan. Namun kenyataannya, ruang itu justru menjadi saksi tindakan kekerasan aparat. Ini menelanjangi tubuh Polri di mata publik,” tegas Kartika.

Lebih jauh, Kartika juga menyebut tindakan itu sebagai pelanggaran berat yang bukan hanya bertentangan dengan hukum pidana, tetapi juga melanggar Kode Etik Profesi Polri (KEPP) Nomor 7 Tahun 2022, khususnya Pasal 7 tentang etika kemasyarakatan.

“Pengeroyokan berkelompok terhadap seorang warga sipil jelas pelanggaran hak asasi manusia. Polisi yang seharusnya humanis justru menunjukkan wajah antihumanis, merusak reputasi dan kehormatan institusinya sendiri,” tukasnya.

Tuntutan Tegas PMKRI Ruteng dan Penegakan Hukum Tanpa Impunitas

Atas peristiwa ini, PMKRI Cabang Ruteng Santo Agustinus menyampaikan dua tuntutan utama:

Pertama, mendesak Kapolres Manggarai melalui Kapolda NTT untuk segera mencopot jabatan oknum polisi yang diduga terlibat pengeroyokan terhadap KAS.

Kedua, Mendesak Polres Manggarai menghentikan segala bentuk sikap represif terhadap masyarakat.

Kartika menekankan bahwa penanganan kasus ini akan menjadi ujian bagi institusi kepolisian.

“Apakah hukum benar-benar berlaku sama bagi semua orang? Apakah Polri berani menindak tegas anggotanya sendiri? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan tindakan nyata, bukan dengan retorika,” ujarnya.

Ia menambahkan, masyarakat tidak boleh takut bersuara menuntut keadilan.

“Kasus KAS bukan sekadar persoalan satu orang korban. Ini persoalan seluruh rakyat yang berhak mendapatkan perlindungan dari aparat penegak hukum. Bila dibiarkan, maka kekerasan aparat akan semakin terlegitimasi,” pungkas Kartika.(*)

Konten

Komentar

You must be logged in to post a comment.