
Penulis: Tim | Editor: Redaksi
RUTENG, FAJARNTT.COM – Universitas Katolik Indonesia (Unika) Santu Paulus Ruteng akhirnya angkat bicara terkait dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang dosen berinisial ILS, yang juga seorang imam Katolik berusia lanjut. Kasus ini terungkap setelah seorang mahasiswi, Christina (bukan nama sebenarnya), memberanikan diri mencari bantuan psikolog kampus akibat serangkaian pesan bernada romantis dan melecehkan, hingga dugaan tindakan fisik yang membuatnya tertekan secara psikologis.
Konferensi pers yang digelar pada Kamis (27/11) itu dihadiri oleh jajaran pimpinan kampus, antara lain Rektor Romo Dr. Agustinus Manfres Habur, Wakil Rektor III Dr. Fransiskus Sawan, Wakil Rektor II Dr. Viktor Pantaleon, Ketua Yayasan Romo Ledobaldus Roling Mujur, serta sejumlah dekan, psikolog kampus, dan awak media. Kampus menyampaikan kronologi lengkap penanganan internal serta menjelaskan alasan pemecatan ILS dari jabatannya sebagai dosen.
Kronologi Kasus: Dimulai dari Pesan Mesra Berulang
Dilansir dari pemberitaan media Floresa.co, Christina mulai menerima pesan bernada menggoda dari ILS sejak awal masa kuliahnya. Dalam berbagai tangkapan layar yang ditunjukkan Christina, ILS menuliskan sapaan seperti “my sweet honey”, “my darling”, “kekasihku forever”, hingga “sayang.”
Christina yang merupakan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris di Kampus Unika Santu Paulus Ruteng, mengaku terkejut, tidak pernah membayangkan pesan seperti itu datang dari seseorang yang ia hormati sebagai imam dan kerabat dekat keluarga.
ILS, selain sebagai dosen, merupakan sosok yang telah lama dikenalnya sebagai “opa”, seorang figur rohani yang turut membantu membiayai kuliahnya. Hal itulah yang membuat Christina semakin sulit menolak atau membicarakan persoalan tersebut kepada keluarganya.
“Aneh, kok bisa dia panggil kekasihku, kok panggil sayang,” kenang Christina, dikutip dari media Floresa.co.
Meski merasa tidak nyaman, ia memilih diam dan mengalihkan tiap percakapan ke hal akademik. Namun diamnya Christina justru membuat ILS semakin berani.
Memuncak pada Dugaan Pelecehan Fisik
Pada Februari 2025, Christina mengalami peristiwa yang disebutnya sebagai titik terendah. Ia mengaku mendapat perlakuan fisik yang tidak pantas dari ILS.
“Awalnya dia pegang tangan. Setelah itu dia sudah berani peluk-peluk dan cium,” ungkapnya.
Christina mengaku sempat berontak dan menegur ILS, mengatakan bahwa tindakan tersebut tidak dibenarkan, bahkan jika alasan kasih sayang keluarga sekalipun. Tetapi ILS justru menjawab sambil tertawa:
“Ini sangat manusiawi, sayang,” kata ILS kepada Christina dalam tangkapan layar percakapan keduanya.
Merasa dilecehkan, terjebak relasi kuasa, dan semakin tertekan, Christina akhirnya mencari bantuan lewat jalur yang bisa ia percaya: layanan psikolog kampus.
Korban Memilih Jalur Psikologi, Bukan Satgas PPKS
Dalam konferensi pers, Rektor Romo Manfred menjelaskan bahwa Christina tidak mengajukan laporan resmi ke Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) kampus.
Ia menyebut bahwa korban memilih jalur konseling psikologis yang bersifat rahasia.
“Sampai hari ini tidak ada laporan yang diadministrasi ke meja Satgas. Korban memilih jalur psikologi. Karena itu, proses tidak melalui mekanisme Satgas yang biasanya memanggil pelapor dan terlapor,” ujar Romo Manfred.
Menurutnya, psikolog kampus terikat kode etik yang ketat dalam menjaga kerahasiaan korban, sehingga informasi terkait laporan Christina tidak bisa dibuka begitu saja kepada pimpinan.
Namun karena dinilai sebagai kasus khusus dengan risiko terhadap keselamatan psikologis korban, psikolog kampus akhirnya mengambil langkah yang tidak lazim: melaporkan kasus tersebut langsung kepada pengurus yayasan, beserta bukti-bukti yang disampaikan Christina.
Langkah itu diambil untuk:
– menghindari trauma tambahan,
– mengurangi tekanan berlebih pada korban,
– dan menghilangkan potensi relasi kuasa yang membahayakan.
Yayasan Bertindak Cepat: Pembatasan Tugas hingga Pemecatan ILS
Ketua Yayasan Unika Ruteng, dalam laporan konferensi pers yang dibacakan Romo Manfred,, menjelaskan kronologi keputusan sebagai berikut:
Pertama, 6 November 2025: Yayasan menjatuhkan pembatasan tugas sementara kepada ILS sebagai tindakan preventif.
Kedua, 12 November 2025: Rapat Pengurus Yayasan memutuskan memberhentikan ILS sebagai dosen.
Ketiga, 17 November 2025: Melalui psikolog, kampus menyampaikan kepada korban bahwa laporan telah ditindaklanjuti dan sanksi telah dijatuhkan.
Kepada media, Romo Manfred menegaskan bahwa kampus tidak dapat membuka detail keputusan karena bagian dari perlindungan korban dan kerahasiaan proses internal.
Kampus Tegaskan Sikap: Tidak Ada Toleransi untuk Kekerasan Seksual
Dalam pernyataannya, Romo Manfred menyatakan bahwa kampus memegang teguh prinsip perlindungan mahasiswa, sesuai amanat Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
Ia meminta publik agar menghormati kerahasiaan identitas korban, menghindari spekulasi, dan tidak menyebarkan informasi yang dapat memperburuk kondisi psikologis korban.
“Kami mengapresiasi keberanian korban dalam mencari bantuan. Segala bentuk pelanggaran etika, moral, maupun hukum tidak akan ditoleransi,” ujar Rektor.
Warek III: Satgas Tidak Bisa Bertindak Tanpa Laporan Resmi
Wakil Rektor III, Romo Frans, selaku pembina Satgas PPKS, turut memberikan penjelasan lanjutan.
Ia menekankan bahwa Satgas memiliki kewenangan untuk memproses laporan kekerasan seksual, namun hanya jika korban mengajukan laporan tertulis secara resmi.
“Kekerasan seksual adalah delik aduan. Tanpa aduan dari korban, Satgas tidak bisa memulai proses investigasi,” tegasnya.
Ia juga menyebutkan bahwa kampus telah membentuk tim konseling dan Satgas yang kuat, mengadakan pelatihan lanjutan, serta melakukan sosialisasi anti-kekerasan kepada mahasiswa dan dosen.
Langkah Hukum: Kampus Tidak Bisa Melapor, Korban Menentukan
Saat ditanya soal kemungkinan proses hukum terhadap ILS, Rektor menjawab bahwa keputusan sepenuhnya berada pada korban.
“Kalau langkah hukum, itu delik aduan. Korban yang harus melapor. Kampus tidak bisa melaporkan pihak terlapor atas nama korban,” jelasnya.
Ia berkata bahwa kampus menegaskan bahwa sejauh ini belum ada laporan kepolisian dari korban, namun lembaga siap bekerja sama jika proses hukum ditempuh.
Pemecatan ILS menunjukkan respons cepat dari pihak yayasan setelah laporan internal diterima. Namun pertanyaan publik kini tertuju pada kemungkinan proses hukum, serta langkah pembinaan dari otoritas gerejawi mengingat status ILS sebagai imam Katolik.
Kampus menegaskan komitmennya untuk memperkuat mekanisme pencegahan kekerasan seksual dan memastikan lingkungan akademik yang aman, bermartabat, dan bebas dari segala bentuk kekerasan.(*)






