
Penulis: Tim | Editor: Redaksi
MANGGARAI, FAJARNTT.COM – Apabila berdiri di halaman rumah Margareta pada pagi hari, suara yang terdengar bukan gemuruh mesin, melainkan desir angin, kokok ayam, dan nyanyian burung. Padahal, hanya beberapa meter dari pekarangannya, asap tipis dari kawah panas bumi mengepul perlahan, diam-diam mengalirkan energi ke ratusan rumah di sekitarnya.
Namun tidak ada ketakutan di sana. Tidak ada garis batas yang membuat penduduk menjauh. Justru yang ada adalah pohon pepaya yang tumbuh subur, daun cengkeh yang mengilap di bawah cahaya matahari, dan kolam ikan mungil yang airnya sebening kaca.
“Dulu waktu orang-orang bilang panas bumi berbahaya, saya hanya senyum saja. Karena saya tahu, saya tinggal paling dekat, dan saya baik-baik saja,” ujar Margareta, sambil menyuguhkan kopi hangat dan pisang rebus kepada tamu.
Margareta bukan peneliti. Ia tak paham istilah geothermal, ESG, atau carbon footprint. Tapi ia punya bukti paling kuat, sebuah pengalaman hidup selama belasan tahun berdampingan dengan PLTP Ulumbu. Tanpa batuk-batuk, tanpa sawah yang rusak, tanpa cerita horor seperti yang kerap dibisikkan dari luar desa.

Kebunnya tetap hijau. Anaknya lulus sekolah dan kini bekerja. Malam tak lagi gelap. Dan yang paling mengejutkan, tanah di sekitar rumahnya menjadi lebih subur.
“Saya tanam apa saja bisa tumbuh. Bahkan tanaman umbi-umbian tumbuh liar. Tanpa pupuk. Saya juga bingung, tapi senang,” katanya sambil tersenyum lebar.
Bagi sebagian orang luar, panas bumi masih terdengar seperti sesuatu yang “tidak alami” padahal, ironisnya, justru inilah salah satu bentuk energi paling alami yang kita miliki. Diambil dari dalam perut bumi, tanpa dibakar, tanpa limbah asap, dan bisa diperbarui terus-menerus.
PLTP Ulumbu, yang dikelola oleh PT PLN (Persero), adalah bukti nyata dari hal itu. Sejak beroperasi pada 2011, tak sekali pun ada kejadian darurat. Tak ada hutan yang musnah. Tak ada air yang tercemar.
Dalam kunjungan lapangan yang digelar PLN pada 18 Juni 2025, puluhan jurnalis, tokoh masyarakat, dan pemuda lokal melihat langsung dapur energi ini. Tidak ada pagar tinggi, tidak ada alarm atau bau menyengat. Hanya pipa-pipa yang mengalirkan uap, turbin yang berputar diam-diam, dan petugas yang bekerja seperti biasa.
“Kami pikir ini seperti kilang atau pabrik. Tapi ternyata sunyi. Damai. Bahkan lebih tenang dari pasar,” kata Yulius Daga, pemuda dari desa tetangga, tertawa ringan.
Keterbukaan ini bukan tanpa tujuan. PLN sedang berupaya mematahkan stigma, membongkar mitos, dan merangkul masyarakat agar ikut merasa memiliki proyek ini. Karena menurut Agradi Aryatama, dari tim TJSL PLN, energi bersih hanya akan bertahan kalau masyarakat ikut menjaganya.
“Kalau masyarakat mengerti bahwa energi ini bukan ancaman, mereka akan ikut menjaga. Mereka jadi bagian dari masa depan, bukan hanya penerima manfaat,” ujarnya.
Dan masa depan itu sedang dibangun dari desa-desa kecil seperti Wewo. Listrik yang stabil kini menjadi pintu masuk ke dunia digital seperti sekolah online, UMKM berbasis internet, penyuluhan pertanian daring. Semua bermula dari panas yang tersimpan di perut bumi.
Namun di luar sana, masih ada suara-suara sumbang. Ada yang bilang energi ini bisa picu gempa. Ada yang khawatir air akan tercemar. Tapi Kepala Teknis Panas Bumi PLN, Roya Ginting, punya jawabannya.
“Kajian lingkungan dilakukan ketat, bahkan sebelum pengeboran pertama. Dan hingga hari ini, tidak ada bencana, tidak ada pencemaran. Justru kami menjaga lebih dari biasanya, karena tahu kami bekerja dekat dengan masyarakat,” ungkap Roya.
Energi bersih, kata Roya, bukan berarti steril dari tantangan. Tapi semua bisa diatasi dengan komitmen dan transparansi.
Ketika matahari mulai condong ke barat, Margareta berdiri di halaman, menjemur biji coklat hasil panen. Di belakangnya, asap putih dari PLTP Ulumbu naik perlahan seperti uap dari ceret yang tenang. Tak ada api. Tak ada ledakan. Hanya panas yang diolah menjadi cahaya.
Di desa ini, panas bumi tidak membakar. Ia menumbuhkan. Ia menerangi. Dan Margareta adalah saksi hidup bahwa perubahan bisa datang diam-diam tanpa gaduh, tapi membawa terang.

CATATAN REDAKSI: apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada redaksi kami EMAIL.
Sebagaimana diatur dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.