
Penulis: Nal Jehaut | Editor: Tim
Dibuat oleh: YOSEFA JAYA,NPM : 25204060, PRODI: S1 KEBIDANAN,(UNIVERSITAS SANTO PAULUS RUTENG).
RUTENG,FAJARNTT.COM- Kematian janin dalam rahim atau Intrauterine Fetal Death (IUFD) merupakan salah satu peristiwa tragis dalam dunia kebidanan yang tidak hanya berdampak secara fisik terhadap ibu, tetapi juga menimbulkan luka emosional mendalam bagi keluarga dan tenaga kesehatan yang terlibat.
Dalam konteks pelayanan kebidanan modern, penanganan kasus kematian janin dalam rahim tidak cukup hanya dengan keterampilan klinis, tetapi juga menuntut pendekatan profesional yang berlandaskan pada prinsip evidence-based practice, etik kebidanan, dan empati kemanusiaan.
Saya berpendapat bahwa dalam menghadapi kasus kematian janin dalam rahim, bidan harus mengutamakan penerapan praktik berbasis bukti (evidence-based practice), komunikasi terapeutik, serta menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan kemanusiaan agar pelayanan yang diberikan tetap bermartabat dan manusiawi
*Dari Segi Medis dan Ilmiah*
Adapun penyebab kematian janin dalam rahim sangat kompleks.Faktor-faktor seperti gangguan plasenta, infeksi intrauterin, kelainan kromosom, hipertensi pada ibu, diabetes gestasional, hingga faktor lingkungan dan gaya hidup dapat menjadi pemicu.
Dalam hal ini, evidence-based practice menjadi dasar utama dalam upaya pencegahan maupun penanganan. Bidan harus mampu mengidentifikasi risiko sedini mungkin melalui pemantauan kehamilan yang teratur, pemeriksaan laboratorium, dan penggunaan teknologi diagnostik seperti ultrasonografi (USG) untuk mendeteksi tanda-tanda distress janin.
Penerapan evidence-based practice juga berarti bidan wajib memperbarui pengetahuan dan keterampilannya sesuai dengan perkembangan ilmu kebidanan terkini.
Misalnya, panduan dari World Health Organization (WHO) menekankan pentingnya pemantauan gerakan janin, pemeriksaan tekanan darah, serta deteksi dini preeklampsia dan diabetes gestasional sebagai langkah preventif terhadap IUFD.
Dengan demikian, keputusan klinis yang diambil tidak hanya berdasarkan pengalaman pribadi, tetapi berdasarkan bukti ilmiah yang valid.
Dalam konteks etika profesi kebidanan, penanganan kematian janin menuntut profesionalisme yang tinggi.Bidan dihadapkan pada dilema moral yang sulit, terutama ketika keluarga belum siap menerima kenyataan kehilangan.
Dalam situasi seperti ini, bidan harus mampu menjaga keseimbangan antara aspek klinis dan emosional. Prinsip-prinsip etika seperti beneficence (berbuat baik), non-maleficence (tidak merugikan), autonomy (menghargai keputusan pasien), dan justice (keadilan) harus menjadi pedoman.
Sebagai contoh, ketika janin dinyatakan tidak lagi memiliki detak jantung, bidan harus menyampaikan informasi tersebut dengan empati, kejelasan, dan kepekaan budaya. Tidak jarang, keluarga mengalami penolakan (denial) dan menyalahkan tenaga kesehatan. Di sinilah pentingnya komunikasi.
Bahasa ini menjadi tempati menyampaikan kebenaran medis dengan cara yang lembut dan penuh empati.memberikan waktu bagi keluarga untuk menerima kenyataan, serta memberikan dukungan emosional secara berkelanjutan.
*Dalam Perspektif Psikososial dan Budaya, Kematian Janin Dalam Rahim Sering Kali Menimbulkan Stigma di Masyarakat*
Di beberapa daerah, termasuk dalam konteks budaya lokal seperti di wilayah Manggarai, kematian bayi atau janin dapat dikaitkan dengan kepercayaan tradisional atau dianggap akibat kesalahan ibu selama kehamilan.
Hal ini memperburuk kondisi psikologis ibu yang sudah mengalami duka mendalam. Oleh karena itu, bidan tidak hanya bertanggung jawab secara medis, tetapi juga harus berperan sebagai pendidik dan mediator sosial yang mampu memberikan pemahaman yang benar tentang penyebab medis kematian janin, sekaligus menghormati nilai-nilai budaya masyarakat.
Pendekatan yang sensitif terhadap budaya sangat diperlukan agar komunikasi antara tenaga kesehatan dan keluarga tidak menimbulkan konflik atau kesalahpahaman.
Misalnya, dalam masyarakat yang sangat religius, bidan dapat mengintegrasikan pendekatan spiritual, seperti memberikan ruang bagi keluarga untuk berdoa atau melakukan ritual tertentu sesuai keyakinan, selama tidak mengganggu aspek medis dan keselamatan ibu.
*Dukungan Psikologis Pascakehilangan Juga Menjadi Bagian Penting Dari Pelayanan Kebidanan yang Manusiawi*
Banyak ibu yang mengalami IUFD mengalami depresi, rasa bersalah, bahkan trauma berkepanjangan. Dalam hal ini, bidan perlu memberikan konseling pascakejadian atau merujuk ibu kepada tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater bila diperlukan.
Pendampingan emosional ini merupakan bentuk tanggung jawab moral sekaligus implementasi dari konsep continuity of care—pelayanan kebidanan yang tidak berhenti setelah tindakan medis selesai, tetapi terus berlanjut sampai ibu benar-benar pulih secara fisik dan mental.
dari sisi kebijakan kesehatan, masih diperlukan peningkatan sistem deteksi dini dan pencatatan kasus kematian janin.
Banyak kasus IUFD yang tidak tercatat atau tidak dilaporkan secara lengkap, sehingga sulit dijadikan dasar evaluasi kebijakan. Bidan memiliki peran penting dalam mendokumentasikan setiap kejadian dengan akurat dan melaporkannya kepada fasilitas kesehatan atau dinas terkait.
Data yang lengkap akan membantu pemerintah dalam merancang program pencegahan, seperti peningkatan kualitas antenatal care (ANC) dan pendidikan kesehatan bagi ibu hamil.
Selain itu, pelatihan berkelanjutan bagi bidan sangat dibutuhkan agar kemampuan mereka dalam mengenali tanda-tanda risiko kehamilan tetap terjaga. Pendidikan dan supervisi rutin dapat memastikan bahwa praktik kebidanan yang dilakukan selalu sesuai dengan standar pelayanan profesional.
*Kesimpulan yang Saya Buat*
Penting juga menyoroti dimensi spiritualitas dan kemanusiaan dalam menghadapi kasus kematian janin. Dalam situasi kehilangan, ibu dan keluarga sering kali mencari makna di balik peristiwa tersebut.
Di sinilah peran bidan sebagai pendamping kehidupan menjadi nyata—tidak hanya membantu kelahiran, tetapi juga mendampingi keluarga dalam menerima kematian dengan penuh kasih dan penghormatan.
Pendekatan yang penuh empati dan spiritual dapat membantu keluarga menemukan kedamaian batin, serta memperkuat citra profesi kebidanan sebagai profesi yang holistik, menyentuh tubuh dan jiwa.
Dengan demikian, kematian janin dalam rahim bukan hanya persoalan medis, tetapi juga persoalan etis, emosional, sosial, dan spiritual yang menuntut penanganan komprehensif dari seorang bidan. Saya menegaskan bahwa dalam setiap kasus IUFD, bidan harus berlandaskan pada praktik berbasis bukti, etika profesi, dan empati kemanusiaan.
Pendekatan yang ilmiah tanpa kepekaan manusiawi akan terasa dingin dan tidak bermakna; sebaliknya, empati tanpa dasar ilmiah dapat berisiko bagi keselamatan ibu. Oleh karena itu, keseimbangan antara keduanya merupakan kunci utama dalam pelayanan kebidanan yang bermutu.
Peristiwa kematian janin dalam rahim seharusnya menjadi refleksi bersama bagi tenaga kesehatan untuk terus meningkatkan mutu pelayanan, memperkuat sistem pencegahan, dan memperlakukan setiap ibu dengan penuh martabat.
Sebab, di balik setiap kehilangan, terdapat panggilan kemanusiaan yang mengingatkan bahwa profesi bidan bukan sekadar pekerjaan teknis, melainkan panggilan jiwa untuk menjaga kehidupan, bahkan dalam keheningan kematian ataupun kematian Janin dalam Rahim. (**)



