
Penulis: Vincent Ngara | Editor: Tim
Beberapa saat suasana di unit rawat inap begitu hening, dan sekitar pukul 00.45 Wita ibu Ani menelpon kembali dan bertanya apakah pasiennya minta pulang, saya menjawab ibu kami tidak tahu jika pasien minta pulang karena tidak ada keluarga yang datang untuk memberitahukan hal tersebut, lalu Ibu Ani menjelaskan mendapatkan informasi bahwa mereka ingin memindahkan pasiennya ke susteran, saya pun menjawab” ibu saya pergi memastikan dulu apakah benar mereka ingin pulang,jika benar maka wali syah dari pasien harus menandatangani surat pernyataan pulang paksa”dan Ibu Ani pun menyetujui hal tersebut. lalu saya meminta ijin pada ibu ani untuk mematikan Hp dan pergi menanyakan hal tersebut pada pasien dan keluarganya. Saat saya ingin keluar dari nurse station, Sales Medi berjalan cepat menuju ruangan pak Mateus dirawat sambil teriak “kami bawa pasien keluar dari sini” sambil menggerutu tapi saya tidak mendengarkan apa yang dia bicarakan kemudian dia berjalan keluar lagi. Saya dan teman saya pergi ke ruangan bapak Mateus dirawat, sesampainya disana ternyata seorang wanita bertubuh pendek,memakai baju merah sedang mengomel sambil menggulung tikar dan mengatakan mereka ingin keluar saja dari puskesmas. Lalu saya menanyakan pada pasiennya “ bapa tuung ngoeng keluar tite ce mai Puskesmas a?” pasien sedang duduk dan menunduk saja tanpa mengeluarkan satu katapun. Wanita berbaju merah itu pun menjawab “ee ite omong langsung saja dengan itu om yang diluar” dengan nada sangat ketus. Om yang dimaksudkannya adalah sales Medi. Lalu saya menjawab” maaf tanta saya hanya ingin berbicara dengan wali syah dari pasien ini istri atau anak kandungnya bahwa jika memang keluarga memaksa untuk segera pulang malam ini juga maka wali syah dari pasien harus menandatangani surat pernyataan pulang paksa artinya apapun yang terjadi pada pasien setelah keluar dari Puskesmas itu sudah bukan menjadi tanggung jawab kami petugas medis”. Semua keluarga yang ada dalam ruangan itu langsung terdiam dan hening, lalu saya bertanya lagi pada istri pasien,”asa mama ngoeng kin kole a agu kondisi de bapa ne nggoo toe di di’a, ngoeng rawat le susteran Peot a? istri pasien ini menatap saya dengan mata berkaca-kaca dan dengan wajah yang tampak bingung dan murung, lalu dia menjawab “ ibu toe gori hia (bpk. Mateus) rawat le susteran, ngoeng kole mbaru kat”. Saya pun tidak ingin bertanya banyak lagi dan meminta istri pasien mengikuti saya ke ruangan perawat sementara teman saya herlin pergi ke unit UGD untuk mengambil persediaan surat pernyataan surat paksa, saat menuju ke ruang rawat inap teman saya ditegur oleh Sales Medi agar tidak perlu menandatangani surat itu namun teman saya tidak menanggapinya. Kemudian saya, teman saya, dan istri pasien duduk di ruangan perawat, lalu saya menjelaskan kembali cara mengisi surat pulang paksa itu kepada istri pasien, namun karena beliau merasa gugup menulis namanya dan suaminya maka saya membantu beliau untuk mengisi identitasnya dan suaminya kemudian dia menandatangani surat itu. Setelah menandatangani surat itu, beliau meminta maaf pada kami atas kejadian ini kami pun mengatakan tidak apa-apa mama yang penting rawat bapa dirumah dengan baik agar cepat pulih lalu saya memberikan obat-obat yang diresepkan dokter untuk diminum oleh pasien dan memberikan kertas resep untuk obat yang tidak ada di Puskesmas agar bisa dibeli di apotek luar. Seorang pria memakai topi datang ke ruangan perawat, dia merupakan salah satu dari keluarga pasien ini menanyakan separah apa kondisi pasien ini dan apa saja dampak yang bisa terjadi jika pasien tidak mendapatkan perawatan yang baik, saya pun menjelaskan kondisi saat ini pasien dan kemungkinan- kemungkinan yang akan terjadi dari cedera yang dialaminya dan juga luka-luka jahitan yang harus dijaga kebersihannya, pria itupun mengangguk-angguk dan memohon maaf berkali-kali atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh saudara Sales Medi. Kami pun hanya tersenyum dan mengatakan tidak apa-apa sudah menjadi resiko pekerjaan kami. Akhirnya teman saya Herlin menyiapkan peralatan untuk melepas infus pasien, namun wanita berbaju merah itu tidak ingin infus pasien dilepas sehingga mereka bisa membawa pasien dengan infusnya ke klinik Susteran. Kemudian teman saya menjelaskan bahwa jika pasien atau keluarganya memaksa untuk keluar dari puskesmas dan tidak ingin dirawat lagi maka apapun peralatan medis yang terpasang pada tubuh pasien harus dilepas, wanita itu pun terdiam. Lalu teman saya pun mulai membuka plester infus pasien dan melepaskan abocathnya, lalu menutup bekas tusukan dengan kapas dan plester. Saat teman saya sedang melepas infus pasien, sales Medi menyuruh seorang wartawan mengambil foto teman saya tanpa izin terlebih dahulu. Sedangkan si Sales Medi berdiri Di depan Nurse Station dan mengarahkan kameranya ke wajah saya lalu mengambil gambar saya sambil mengatakan Christin Carvalo saya akan muat kau di surat kabar tapi saya tidak menghiraukannya karena sibuk menulis status pasien sebelum pasien pulang.
Tepat pukul 00.45 pasien dan keluarganya meninggalkan ruangan rawat inap namun sebelum sampai di depan Pintu keluar rawat Inap, Sales medi mengeluarkan kalimat ancaman kembali “ Tunggu ni Puskesmas akan saya bahas di Paripurna supaya di tutup saja sekalian kemudian dia kembali masuk lagi ke dalam ruangan menantang wajah saya sambil mengatakan pada saya” Christin carvallo, kau tunggu e!!!” dengan nada penuh ancaman, saya hanya menatap wajahnya tanpa mengatakan sepatah katapun. Dia Pun pergi, dan kami melanjutkan pergi memeriksa pasien yang sesak.
Pukul 08.00 pagi saya pergi ke ruangan Kepala Puskesmas menghadap kepala Puskesmas Ibu Yosefina Nirma dan menceritakan semua kejadian yang terjadi. Ibu kepala pun mendengarkan semua kronologis kejadian itu dan meminta saya untuk tetap tenang dan menasehati beberapa hal. Setelah itu saya kembali ke ruangan rawat inap dan melakukan overan pasien dengan petugas jaga pagi lalu pamit pulang sekitar pukul 08.35 wita. Saat masih di tengah perjalanan sekitar pukul 08.45 wita saya di telepon oleh seorang teman di Puskesmas Saudara Aris bahwa ada dua orang wartawan yang datang mencari saya dan meminta nomor telepon saya, karena sebelumnya ibu Ani Agas dan Kepala Puskesmas sudah meminta saya untuk tidak mengeluarkan statement apapun dengan wartawan maka saya menolak memberikan nomor Hp saya. Tapi para wartawan itu terus menanyakan nomor Hp saya pada teman-teman tapi teman-teman saya tidak mau memberikannya. Wartawan itu mendapatkan informasi alamat rumah saya dan mereka berusaha mencari alamat rumah saya dan sekitar pukul 12.00 wita ada tiga orang wartawan ke rumah orang tua saya, satu wartawan yang masuk sampai di teras rumah saya sedangkan dua orangnya menunggu di bawah jalan depan gerbang. Wartawan yang masuk ke teras itu adalah saudara Ondik seorang wartawan yang berdomisili di Jawang juga. Dia memberikan ucapan selamat siang pada ayah saya yang kebetulan saat itu sedang duduk di teras rumah. Bapa membalas salamnya dan menanyakan keperluan wartawan itu datang ke rumah. Dia menjawab ingin mengantar 2 wartawan yang di depan gerbang rumah itu karena mereka meminta bantuannya untuk menunjukkan alamat rumah dan ingin mewawancarai saya, lalu menjawab bahwa sedang tidur karena baru pulang dinas malam. Bapa saya mempersilahkan wartawan itu duduk dan memanggil temannya dua orang lagi itu tapi mereka hanya terus berdiri di depan gerbang. Melihat itu saudara laki-laki saya Yonan Carvallo kemudian pergi ke arah gerbang menemui 2 wartawan itu. Kemudian menanyakan maksud dan tujuan kedatangan mereka, mereka menjawab ingin mewawancarai saya terkait persoalan yang terjadi di ruangan rawat inap jumat malam itu. Kakak saya menjawab adik saya sedang tidur karena baru pulang dinas malam, kemudian kaka saya meminta KTP dan Kartu wartawan aktif dari kedua wartawan tersebut tapi mereka tidak mau memberikannya dan mengambil motor mereka bergegas pulang. Melihat kedua temannya tadi itu sudah pergi, wartawan yang duduk bersama ayah saya tadi itu pun tampak kebingungan dan meminta pamit pada ayah saya dan kemudian pergi.

Pukul 14.35 wita saya bangun tidur dan ayah serta kakak saya menceritakan kejadian itu dan meminta saya untuk tidak cemas dan tetap tenang. Saya pun masuk dinas malam ke 2 seperti biasa pukul 21.00 wita dan melaksanakan tugas saya malam itu seperti biasa dengan teman saya Br. Robert dan sekitar pukul 00.05 kakak perempuan saya menelpon memberitahukan bahwa nama saya sudah dimuat di media Flores Merdeka. Saya Pun meminta kakak saya untuk tetap tenang dan tidak usah menanggapi. Ketika saya membaca berita itu, saya hanya tersenyum karena 98% yang diberitakan itu sangat direkayasa. Tapi saya diam saja tidak berkomentar sedikitpun pada media itu dan tidak mau menanggapi semua tuduhan yang ditujukan pada saya. Mereka salah menyebut nama ayah saya juga di media itu tapi kami tersenyum saja dan tidak berkomentar.
Setelah itu, pada Senin 8 November saya dimintai klarifikasi secara resmi oleh Kabid SDK Dinkes Matim yaitu Ibu Ani Agas terkait kronologis kejadian malam itu. Setelah berita klarifikasi saya selesai direkam dan diketik oleh staf Ibu Ani, saya pun dibawah oleh Ibu Ani untuk bertemu Kadis Humas Kabupaten Manggarai Timur Bapak Bonifasius Sai di kantor beliau. Ibu Ani menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan kami serta menceritakan secara singkat apa yang terjadi malam itu. Pak Boni menerima baik kedatangan kami dan menyimak semua hal yang Ibu Ani sampaikan dan beliau memberikan kekuatan pada saya agar tak perlu takut dan tetap bekerja seperti biasa dalam melayani pasien. Beliau pun mengatakan akan mengutus beberapa stafnya baik dari Humas maupun Kominfo untuk terjun langsung ke Puskesmas Borong untuk mewawancarai Kepala Puskesmas Borong termasuk saya. Kami pun pamit dari kantor beliau, saya kembali ke Puskesmas dan memberitahukan Kepala Puskesmas proses yang saya lalui hari itu. Tidak lama kemudian Para staf dari seksi Humas dan Kominfo berjumlah tiga orang datang bertemu Kepala Puskesmas Borong, saya pun dipanggil untuk bersama-sama mereka memberikan keterangan. Mereka meminta saya menunjukan SOP Rawat Inap menyangkut pelayanan dari saat pasien masuk ruang rawat inap sampai seluruh aturan jumlah pengunjung serta jam berkunjung. Pihak Humas dan Kominfo meminta saya pula mengantarkan mereka langsung ke Unit Rawat Inap, saya memandu mereka melihat tempat pasien itu dirawat dan mereka meminta izin terlebih dahulu untuk mengambil gambar terkait beberapa aturan yang ditempelkan di ruangan pasien tersebut, juga aturan-aturan yang ditempelkan di luar kamar pasien dan di depan pintu masuk Ruang rawat Inap. Setelah itu kami kembali lagi ke ruangan ibu kepala Puskesmas dan melanjutkan seksi wawancara. Setelah merasa cukup keterangan yang diberikan oleh Ibu kepala Puskesmas dan saya, salah seorang dari mereka mengatakan akan segera menyusun redaksinya dan sesegera mungkin akan diterbitkan berita klarifikasi tersebut lalu mereka pun berpamitan.
Pada tanggal 11 November 2020 sekitar pukul 20.00 wita saya dikirimi screenshoot foto halaman depan dari berita yang dimuat oleh media Jendela Indo bahwa saya telah dilaporkan di kepolisian oleh saudara Salesius Medi pada hari itu. Saya hanya mengatakan pada keluarga saya agar tetap tenang dan jangan terpancing emosi. Saya pun langsung mengirimkan screenshot foto itu ke Ibu Ani Agas dan beliau mengatakan agar saya tidak perlu panik, tetap tenang, beliau langsung menemui Bapak Kapolres Kabupaten manggarai Timur saat itu. Pukul 21.00 Wita bapak Sekretaris Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kabupaten Manggarai Timur langsung mengirim pesan melalui whatsapp kepada saya bahwa beliau baru membaca berita itu dan meminta saya untuk hadir dalam pertemuan bersama Ketua PPNI kabupaten Manggarai Timur dan jejaringnya bersama Ibu Ani dan stafnya.

CATATAN REDAKSI: apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada redaksi kami EMAIL.
Sebagaimana diatur dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.