close menu

Masuk


Tutup x

5000 Lilin di Natas Labar Motang Rua, Suara Damai Menggema dari Manggarai untuk Indonesia

5000 Lilin
5000 lilin dinyalakan serentak dalam doa bersama lintas agama bertajuk "Doa 5000 Lilin untuk Kedamaian Indonesia" di Natas Labar Motang Rua Ruteng, pada Selasa malam, 2 September 2025. (Foto: Dok. Pribadi)

Penulis: | Editor: Redaksi

RUTENG, FAJARNTT.COM – Natas Labar Motang Rua Ruteng, Kabupaten Manggarai, pada Selasa malam, 2 September 2025, dipenuhi cahaya ribuan lilin.

Sebanyak 5000 lilin dinyalakan serentak dalam doa bersama lintas agama bertajuk “Doa 5000 Lilin untuk Kedamaian Indonesia.”

Ribuan warga, dari tokoh adat, pemuda, pelajar, aktivis, aparat TNI-Polri, hingga pejabat daerah, larut dalam suasana hening yang berubah menjadi panggung refleksi bersama: doa, kritik, dan seruan damai.

Lilin Menyala, Rakyat Bersatu dalam Doa dan Harapan

Sejak petang, warga berdatangan membawa lilin. Ketika semua dinyalakan serentak, Lapangan Motang Rua berubah menjadi lautan cahaya. Anak-anak, remaja, orang dewasa, hingga orang tua duduk berdampingan, membentuk lingkaran doa yang sarat makna.

Bagi sebagian, nyala lilin adalah doa untuk perdamaian bangsa. Bagi yang lain, ia adalah simbol teguran moral bagi kekuasaan yang kerap abai pada rakyat kecil. Namun bagi semua, cahaya itu adalah tanda persaudaraan dan harapan baru dari Manggarai untuk Indonesia.

Kedai Momica
GMNI Manggarai: Demokrasi Mengecil, Rakyat Tersisih

Ketua GMNI Cabang Manggarai, Melyani Yolfa Jaya, menjadi suara kritis malam itu. Ia menyebut Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

“Kita tahu, demokrasi makin menyempit. Rakyat makin sulit bersuara, sementara kekuasaan akrab dengan pemilik modal. Aparat yang seharusnya melindungi rakyat, justru menghunus senjata pada rakyat kecil,” tegasnya.

Ia juga menyinggung penderitaan rakyat Manggarai: harga hasil tani yang tak menentu, nelayan yang bertahan dengan perahu kecil, guru honorer dengan gaji minim, hingga pembangunan yang tidak merata.

“Otonomi daerah seharusnya untuk rakyat, tetapi justru dipakai memperkuat dinasti politik dan membuka pintu bagi investor yang merampas tanah rakyat. Rakyat hanya jadi penonton di tanah sendiri,” katanya lantang.

Orasinya ditutup dengan seruan menggema: “Hidup rakyat! Hidup petani! Hidup buruh! Merdeka!”

Kapolres: Kritik Adalah Motivasi, Bukan Ancaman

Ketegangan dari suara kritis GMNI disejukkan oleh Kapolres Manggarai, AKBP Hendri Syahputra. Ia menyampaikan bahwa Polri tidak alergi terhadap kritik.

“Kami menerima semua kritik dan masukan. Itu bukan ancaman, tapi motivasi bagi kami untuk terus menjadi lebih baik,’ ujarnya.

Kapolres menegaskan Polri hadir untuk melindungi rakyat, bukan menakut-nakuti. Ia berjanji Polres Manggarai akan terus mengedepankan pendekatan humanis, menjaga keamanan, dan mendengarkan suara rakyat.

Dandim Manggarai: Aspirasi Sah, Jangan Terprovokasi

Dandim 1612/Manggarai, Letkol Arh Amos Comenius Silaban, menegaskan pentingnya menyalurkan aspirasi rakyat secara benar, tanpa terjebak provokasi.

Manggarai ini rumah kita. Aspirasi boleh disampaikan, tetapi jangan sampai terjebak provokasi. Jauhi anarkisme, jauhi orang-orang yang ingin memanfaatkan situasi,” katanya tegas.

Ia menambahkan bahwa TNI bersama Forkopimda berkomitmen menjaga Manggarai agar tetap damai, rukun, dan ramah.

“Kami ingin Manggarai kondusif, agar siapa saja nyaman datang dan membangun di sini,” pungkasnya.

Bupati Manggarai: Pemerintah Bukan Penguasa, Tetapi Pengurus Rumah

Bupati Manggarai, Herybertus Geradus Laju Nabit, menutup refleksi dengan ajakan damai.

Ia menekankan bahwa pemerintah hadir bukan untuk membungkam rakyat, tetapi untuk memastikan semua suara bisa didengar.

“Kalau malam ini kita hadir, ini bukan cara kami membungkam suara. Justru ini cara kami memastikan bahwa setiap orang boleh bersuara. Dalam perbedaan paling ekstrim sekalipun, kita tetap bagian dari rumah besar Indonesia,” katanya.

Ia mengibaratkan negara sebagai rumah yang dihuni bersama.

“Pemerintah adalah pengurus rumah, yang harus memastikan rumah ini teduh untuk semua penghuninya. Kalau ada yang kurang, mari kita bicarakan, bukan merusaknya,” tambahnya.

Bupati juga mengingatkan bahwa demonstrasi adalah hak rakyat, tetapi harus damai.

“Cinta paling sederhana pada republik ini adalah menjaga rumah kita agar tetap damai,”pungkasnya.

Acara ditutup dengan pemandangan magis: 5000 lilin yang menyala serentak, membentuk lautan cahaya di tengah Ruteng. Ribuan warga menundukkan kepala, ada yang berdoa, ada pula yang diam dalam refleksi.

Cahaya lilin itu seakan menyampaikan pesan ganda: doa untuk Indonesia yang damai, sekaligus teguran bagi penguasa yang lalai. Dari Manggarai, suara rakyat terdengar jelas: damai bukan berarti diam, kedamaian harus berjalan beriringan dengan keadilan.

Nyala lilin bisa padam oleh angin, tetapi suara rakyat yang lahir dari doa dan refleksi malam itu diyakini akan terus menyala dalam ingatan.(*)

Konten

Komentar

You must be logged in to post a comment.