
Penulis: Tim | Editor: Redaksi
Satire Gus Dur dan Negara Bukan-Bukan
Saya selalu teringat sarkasme Gus Dur tentang negara “bukan-bukan.” Baginya, Indonesia ambigu: bukan sekuler penuh, bukan teokratis; bukan sosialis, bukan kapitalis murni; bukan demokrasi Barat, bukan otoriter Timur. “Bayangkanlah, saudara-saudara,” katanya sambil tertawa, “hukum berjalan tapi berhenti di istana, birokrasi absurd seperti urus KTP butuh 10 cap, korupsi lancar jaya. Ekonomi zig-zag: hari ini liberal, besok proteksionis. Rakyat? Diminta percaya absurditas ini normal. Indonesia adalah negara ‘bukan-bukan’ ketidakjelasan jadi aturan, tapi di situlah keunikan kita, asalkan kita sadar.”
Teringat sarkasme itu, saya tersenyum pahit membaca beberapa pernyataan Menteri Keuangan baru. Gaya koboinya yang bebas, improvisatif, kadang melawan logika mirip presiden AS: Theodore Roosevelt, ‘cowboy president’ yang pecah kartel tapi ekspansi imperialis; Donald Trump yang flamboyan dengan perang tarif; Ronald Reagan karismatik ala Hollywood, tapi Reaganomics picu defisit raksasa. Hasilnya? Kadang decak kagum, kadang kebingungan, konsekuensi panjang.
Emas, Bank, dan Logika Sederhana
Logika sederhana pun bisa menangkap masalah ini. Punya emas di bank dapat bunga, tapi kalau bank bangkrut? Hilang. Strategi rakyat: simpan emas di kaleng rumah. Rupiah jatuh, emas naik, setidaknya ada pegangan di tengah ketidakpastian.
Indonesia kaya sumber daya alam, tapi narasi “antek neokolim” sejak 1966 membuat negeri ini terlihat lemah. Padahal, pemimpin AS seperti Roosevelt, Trump, dan Reagan memang bergaya koboi: bebas, suka ambil risiko, menantang diplomasi. Bukan Soekarno yang membuat mereka ciut nyali, tapi mereka yang mengincar kendali Indonesia.
SDA dan “Raja-Raja Kecil” di Indonesia
Indonesia kaya SDA, di mana tiap daerah memiliki kekayaan luar biasa. Dari tambang hingga hasil bumi, hampir setiap provinsi punya “harta tersembunyi” sendiri. Namun, distribusi kekayaan rumit. Otonomi daerah membuat kekuasaan terpecah: dulu semua terpusat di satu raja Soeharto. Sekarang? Kekayaan dan kekuasaan tersebar ke “raja-raja kecil” di tiap wilayah.
Julia Suryakusuma menyoroti fenomena ini: otonomi memberi peluang elite lokal jadi penguasa mini. SDA tidak hanya soal nasional, tapi soal lokal. Raja kecil ini kadang lebih berpengaruh daripada kebijakan pusat. Ironisnya, meski kaya, kesejahteraan tidak otomatis mengikuti; kekayaan memperkuat elite lokal dan memperlebar kesenjangan.
Indonesia for Sale dan Mafia Berkeley
Soekarno tumbang, modal asing masuk via Paris Club 1966, dan “Indonesia for Sale” resmi dimulai. Tanpa Mafia Berkeley ekonom lulusan UC Berkeley ini tidak terjadi. Desain mereka: utang asing pacu pembangunan, SDA jadi jaminan, keuntungan mengalir keluar. Pepatah lama: jangan berutang, jerat seumur hidup. Terbukti: kita menutup lubang utang dengan lubang utang baru, bayar bunga dan cicilan, sementara SDA tetap jadi jaminan.
Ketimpangan Ekonomi yang Menakjubkan
Kesenjangan semakin nyata. Tahun 2025, empat orang terkaya memiliki kekayaan sekitar Rp 1.700 triliun, setara dengan 100 juta rakyat bawah. Infrastruktur megah dibangun, tapi rakyat tetap menanggung utang ala Berkeley. Fakta: pajak rakyat membayar utang luar negeri, sementara kebijakan ekonomi zig-zag ala koboi membuat rakyat kehilangan arah.
Mafia Berkeley merancang strategi: “utang untuk pembangunan, pinjam SDA untuk modal asing.” Canggih: jalan, pelabuhan, bandara naik. Tapi efek sampingnya: proyek jadi pinjaman berbunga, aset negara, hutan, tambang, minyak menjadi jaminan. Bukan kemandirian, tapi ketergantungan pada modal asing; keputusan dibuat jauh dari Jakarta, oleh tangan yang tidak pernah merasakan panas terik matahari di sawah atau berayun di perahu nelayan menahan gelombang laut.
Beban Moral dan Refleksi Pribadi
Efek jangka panjang: buruh, petani, nelayan, guru, dokter bayar harga, elit kaya menikmati ketimpangan. Kebijakan zig-zag bikin rakyat bingung: harga stabil kapan? gaji cukup? pendidikan dan kesehatan terjangkau kapan?
Bayangkan perasaan desainer kebijakan ini, alumni Berkeley. Puas atau miris? Saya ingin bertanya, salah satu Mafia Berkeley adalah teman tante saya, Helda Yahya. Apa yang mereka “Mafia Barkeley” rasakan melihat Indonesia hari ini: gembira atau pilu? Beban moral melihat bangsa sendiri terseret utang dan ketimpangan adalah hukuman tidak kasat mata: mata rabun, tulang rapuh, jiwa lelah, tapi umur panjang memberi kesempatan menyaksikan hasil kerja sendiri. Tidak ada ampun sejarah; setiap kebijakan membawa tanggung jawab, anak cucu mewarisi konsekuensi.
Kesadaran Rakyat sebagai Aset Paling Berharga
Sarkasme Gus Dur tetap relevan: negara absurd, rakyat belajar adaptasi urus administrasi rumit, berjuang dalam ketidakadilan harian, tersenyum saat “kebijakan luar biasa” justru bikin rumit. Negara kuat di atas kertas, lemah praktik. Indonesia hari ini utang, ketimpangan, kebijakan zig-zag ala koboi bukti hidup dari satire itu.
Sebagai urang Minang dari keluarga Jahja Datoek Kajo Koto Gadang, Agam, kami tetap setia perjuangan rakyat. Kami memahami kesatuan, moral, dan pengorbanan. Sejarah mengingatkan: penjajahan bisa datang dalam banyak bentuk tidak hanya senjata, tapi juga utang, perjanjian ekonomi, dan kebijakan yang memperkaya segelintir orang.
Kesadaran rakyat adalah aset utama. Emas bisa simlan di kaleng, rupiah bisa jatuh tapi kesadaran tidak ternilai. Selama ada kesadaran itu, Indonesia bisa lepas dari jebakan utang, ketimpangan, dan desain koboi Berkeley-Texas.
Kesimpulan: Negara yang Bukan-Bukan Tapi Masih Bisa Bangkit
Peluang ada: kebijakan pro-rakyat, bukan barter SDA. Jangan biarkan “negara bukan-bukan” jadi normal absurd bisa lazim, korupsi jadi sistem, zig-zag jadi tradisi. Rakyat harus tetap kritis, awasi, dan pertanyakan setiap kebijakan. Dengan kesadaran kolektif, Indonesia bukan-bukan lagi, tapi negara yang berpihak pada rakyat.
Emas di kaleng, rupiah jatuh, kesadaran rakyat tak ternilai. Selama rakyat sadar hak, kekayaan, dan tanggung jawabnya, Indonesia bisa bangkit dari utang, kapitalisme ekstrim, dan pengaruh Mafia Berkeley. Negeri ini masih bisa menjadi tanah yang layak bagi 280 juta jiwa, bukan sekadar “Indonesia for Sale.”
Penulis : Novita sari yahya





