close menu

Masuk


Tutup x

Cegah Kekerasan Seksual, PMKRI Ruteng Bangun Kesadaran Moral di Sekolah Katolik

PMKRI Ruteng dan stakeholder bersama siswa-siswi SMAK Santu Thomas Aquinas melakukan sesi foto bersama usai kegiatan edukatif bertajuk "Cegah Kekerasan Seksual, Hindari Pergaulan Bebas. (Dok.FajarNTT/PMKRI Ruteng)
PMKRI Ruteng dan stakeholder bersama siswa-siswi SMAK Santu Thomas Aquinas melakukan sesi foto bersama usai kegiatan edukatif bertajuk "Cegah Kekerasan Seksual, Hindari Pergaulan Bebas. (Dok.FajarNTT/PMKRI Ruteng)

Penulis: | Editor: Redaksi

RUTENG,FAJARNTT.COM – Dalam upaya untuk mencegah maraknya kekerasan seksual di kalangan remaja, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ruteng Santo Agustinus membangun kesadaran moral di lingkungan sekolah Katolik melalui program edukatif bertajuk “Cegah Kekerasan Seksual, Hindari Pergaulan Bebas”.

Kegiatan yang digelar di SMAK St. Tomas Aquinas Ruteng pada Sabtu (18/10/2025) ini menjadi bagian dari program PMKRI Goes To School sebagai wujud nyata kepedulian organisasi terhadap generasi muda.

Dalam kegiatan ini, PMKRI menggandeng berbagai mitra strategis seperti Polres Manggarai, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kabupaten Manggarai, serta Yayasan Gembala Baik Indonesia Karya Sosial Weta Gerak.

Kolaborasi ini memperkuat upaya bersama membangun kesadaran moral dan pencegahan kekerasan seksual di kalangan pelajar SMA Katolik di Ruteng.

Gerakan Moral dari Kaum Muda untuk Kaum Muda

Ketua PMKRI Cabang Ruteng, Margareta Kartika, dalam sambutannya menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk komitmen PMKRI untuk terlibat aktif dalam perjuangan sosial dan kemanusiaan, terutama dalam melindungi kelompok rentan seperti perempuan dan anak.

“Edukasi ini adalah wujud tanggung jawab moral kami sebagai mahasiswa Katolik yang terpanggil untuk berjuang, terlibat, dan berpihak pada kaum tertindas. Kami tidak bisa diam melihat maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, khususnya kekerasan seksual yang meningkat di Flores,” ujar Margareta.

Ia menyoroti bahwa hingga kini terdapat 84 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Flores, dan mayoritas di antaranya adalah kekerasan seksual.

Karena itu, Margareta mengajak peserta untuk mengambil tiga komitmen moral utama:

Pertama, komitmen Edukasi: mendidik diri sendiri dan lingkungan sekitar agar lebih sadar dan peka terhadap isu kekerasan seksual.

Kedua, komitmen Aksi: tidak diam, berani melapor, mendampingi korban, dan menciptakan ruang aman yang menolak keberadaan pelaku.

Ketiga, komitmen Integritas Diri: menjaga diri, menjaga nilai, serta menjadi pribadi yang berkarakter dan bermartabat.

“Generasi muda Katolik harus berani menolak kekerasan dalam bentuk apa pun, menjadi pribadi yang bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga kuat secara moral dan menjunjung tinggi martabat manusia,” tegasnya.

Sekolah Pernah Dihantui Kasus Kekerasan dan Pergaulan Bebas

Kepala Sekolah SMAK St. Tomas Aquinas Ruteng, Fransiskus Rodriques Rusman, mengapresiasi kegiatan ini dan menyebut bahwa upaya pembinaan moral sangat relevan dengan pengalaman sekolah yang pernah menghadapi berbagai persoalan sosial di masa lalu.

“Tahun 2020, sekolah kami pernah menghadapi kasus hamil muda, tawuran, bahkan pemerkosaan di kalangan siswa. Itu menjadi peringatan keras bagi kami bahwa pendidikan tidak hanya soal akademik, tetapi juga karakter dan nilai moral,” ujarnya.

Fransiskus menambahkan, pihaknya telah bekerja sama dengan Polres Manggarai dan sejumlah lembaga sosial untuk menangani persoalan tersebut.

“Puji Tuhan, beberapa tahun terakhir kasus semacam itu menurun. Karena itu kami sangat berterima kasih kepada PMKRI Ruteng yang mau bermitra dengan sekolah dalam menanamkan nilai moral dan kesadaran diri kepada siswa-siswi kami,” katanya.

PPPA Manggarai: Pergaulan Bebas Bentuk Penyimpangan Sosial

Sementara itu, Kabid PPPA Kabupaten Manggarai, Fransiskus M. Dura, dalam penyampaian materinya menjelaskan bahwa pergaulan bebas merupakan perilaku menyimpang yang melewati batas norma sosial, agama, dan hukum.

“Pergaulan bebas bukan hanya soal seks bebas. Ia juga mencakup penyalahgunaan narkoba, tawuran, vandalisme, balapan liar, hingga penyalahgunaan media sosial,” jelas Fransiskus.

Ia menyebut faktor penyebab pergaulan bebas antara lain rendahnya pendidikan keluarga, kondisi ekonomi, keluarga broken home, lemahnya kontrol diri, serta pengaruh gaya hidup dan media sosial.

Menurutnya, cara terbaik mencegahnya adalah dengan menegakkan aturan, menjaga keseimbangan hidup, serta memperluas wawasan.

“Anak adalah cerminan orang tua. Bila anak menunjukkan perilaku menyimpang, itu berarti ada pengasuhan yang gagal di rumah,” ujarnya menegaskan.

Polres Manggarai Tegaskan Komitmen Hukum

Kanit PPA Polres Manggarai, Antonius Habun, juga hadir membawakan materi tentang Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Nomor 12 Tahun 2022.

Ia menekankan bahwa tindak pidana kekerasan seksual tidak hanya mencakup pemerkosaan, tetapi juga pelecehan non-fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan perkawinan, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

“Pasal 4 ayat (2) UU TPKS menyebutkan bahwa tindakan cabul di lingkungan sekolah, bahkan sesama teman sebaya, merupakan pelanggaran hukum. Sekolah harus menjadi tempat aman, bukan ruang kekerasan,” tegas Antonius.

Ia juga menegaskan komitmen Polres Manggarai untuk menindak setiap bentuk kekerasan seksual dan melindungi korban.

“Kami hadir untuk menegakkan hukum sekaligus memberi edukasi, agar pelajar tidak takut bersuara ketika menjadi korban atau melihat kekerasan terjadi,” katanya.

Yayasan Gembala Baik: 75 Persen Remaja di Ruteng Berpacaran di Usia 15 Tahun

Dari perspektif sosial, Matilda Jana, Manager Yayasan Gembala Baik Indonesia Karya Sosial Weta Gerak, mengungkap data yang cukup mencengangkan.

Ia menjelaskan, berdasarkan hasil penelitian yayasannya terhadap 651 anak migran di tahun 2024, sebanyak 75 persen remaja di Kota Ruteng sudah berpacaran sejak usia 15 tahun.

“Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya pendidikan karakter dan pengenalan batas diri sejak dini. Mengenali batasan diri, mulai dari fisik, emosional, mental, maupun sosial adalah bentuk mencintai diri sendiri dan menghargai tubuh,” kata Matilda.

Ia menambahkan bahwa data Kementerian PPA tahun 2024 mencatat 11.774 korban kekerasan seksual di Indonesia, angka yang menandakan perlunya perhatian dan aksi kolektif dari semua pihak.

Pacaran Sehat Butuh Komunikasi dan Rasa Aman

Menutup sesi sosialisasi, Maksiana Afro, Presidium Hubungan Masyarakat Katolik (PHMK) PMKRI Cabang Ruteng, mengajak para pelajar untuk memahami konsep pacaran sehat.

“Pacaran sehat itu hubungan yang didasari saling menghormati, percaya, dan mendukung satu sama lain untuk berkembang. Dalam hubungan seperti ini, tidak ada ruang untuk kekerasan atau paksaan,” jelasnya.

Ia menegaskan tiga hal penting yang harus dihindari dalam berpacaran, yakni jangan terlibat perasaan terlalu dalam tanpa pertimbangan, hindari keterlibatan seksual, dan berhati-hati memilih teman sebaya.

Lanjutkan Misi Edukasi Hingga ke Desa

Sebagai informasi, sebelumnya pada 9 Agustus 2025, PMKRI Cabang Ruteng juga telah melaksanakan kegiatan edukasi serupa di SDI Lenteng, Desa Compang Darei, Kecamatan Rahong Utara, dengan melibatkan siswa, orang tua, dan tokoh masyarakat.

Margareta menegaskan bahwa program “PMKRI Goes To School” akan terus berlanjut ke berbagai sekolah di Manggarai.

“Kami ingin menjadi bagian dari gerakan moral yang menumbuhkan kesadaran, bahwa generasi muda Katolik tidak boleh diam di tengah maraknya kekerasan seksual. Kami harus menjadi pelindung sesama dan pembawa terang bagi lingkungan sekitar,” pungkasnya.(*)

Kedai Momica
Konten

Komentar

You must be logged in to post a comment.