close menu

Masuk


Tutup x

Tapal Batas Dikukuhkan, Masyarakat Adat Mbehal-Nggorang Redam Klaim Liar di Labuan Bajo

Masyarakat adat Mbehal dan Nggorang mengukuhkan kembali tapal batas wilayah ulayat di Watu Katur, Desa Tanjung Boleng, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Senin (8/12/2025)
Masyarakat adat Mbehal dan Nggorang mengukuhkan kembali tapal batas wilayah ulayat di Watu Katur, Desa Tanjung Boleng, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Senin (8/12/2025)

Penulis: | Editor: Redaksi

LABUAN BAJO, FAJARNTT.COM – Masyarakat adat Mbehal dan Nggorang mengukuhkan kembali tapal batas wilayah ulayat di Watu Katur, Desa Tanjung Boleng, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Senin (8/12/2025).

Pengukuhan ini dilakukan sebagai langkah tegas untuk meredam klaim liar atas tanah adat yang dinilai semakin menguat dan berpotensi memicu konflik di tengah masyarakat.

Ketua Ulayat Mbehal, Aleks Makung, mengatakan pengukuhan tapal batas merupakan bentuk tanggung jawab moral dan adat para tetua untuk menjaga warisan leluhur yang telah ditetapkan secara turun-temurun.

Menurutnya, langkah ini diambil menyusul kegelisahan masyarakat adat atas manuver sejumlah pihak yang mencoba membengkokkan sejarah dan hukum adat demi kepentingan pribadi.

“Hari ini kami mengukuhkan kembali tapal batas ulayat Mbehal dan Nggorang. Ini penting agar generasi muda memahami bahwa batas-batas ulayat ini adalah ketetapan leluhur yang wajib dijaga dan dilestarikan,” tegas Aleks dalam keterangan tertulis yang diterima media ini.

Ia mengungkapkan, pengukuhan dilakukan untuk mencegah tanah ulayat dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak memahami adat, termasuk pihak yang diduga terafiliasi dengan mafia tanah.

“Kami resah karena ada upaya-upaya mengacaukan hukum adat. Ini tindakan tak beradab, seolah-olah hukum adat bisa dipermainkan,” ujarnya.

Aleks juga menegaskan bahwa di Tanah Boleng hanya terdapat tujuh gendang, yakni Mbehal, Mbehel, Nggieng, Mbuit, Legam, Ngaet, dan Rareng yang dikenal sebagai Gendang Pitu.

Ketujuh gendang tersebut, papar Aleks, memiliki wilayah ulayat, lingko, serta anak kampung dengan status mukang dan riang yang wewenangnya jelas dalam sistem hukum adat Manggarai.

“Dalam adat Manggarai, mukang dan riang memiliki batas kewenangan dan harus selalu berkoordinasi serta tunduk pada keputusan beo induk jika menyangkut tanah ulayat. Hukum adat kita sangat jelas,” katanya.

Sementara itu, Ketua Batu Nggorang Watu Langkas, Yohanes Sehali, menjelaskan bahwa pengukuhan ini dalam bahasa adat disebut nuk tange lonto, yakni pengingat agar setiap orang sadar akan posisinya dalam hirarki hukum adat dan tidak mudah dimanfaatkan oleh kepentingan lain.

“Kami mengingatkan agar jangan sampai menjadi kerbau dicucuk hidung oleh mafia tanah,” kata Yohanes.

Ia menambahkan, pengukuhan tapal batas dilakukan untuk meredam situasi yang mulai bergerak liar akibat klaim sepihak dan upaya mengarang sejarah oleh oknum tertentu.

Para tetua adat, kata dia, memilih bertindak bijak untuk mencegah benturan fisik di lapangan yang dapat merugikan semua pihak.

“Selain untuk menjaga tatanan adat, pengukuhan ini juga dinilai penting bagi kepentingan administrasi pemerintahan, khususnya bagi desa-desa yang berbatasan secara administratif di Watu Katur, yakni Desa Tanjung Boleng dan Desa Batu Cermin,” ucapnya.

Penegasan tapal batas diharapkan dapat menghindari kerancuan dalam proses administrasi desa yang berkaitan dengan alas hak tanah.

Masyarakat adat Mbehal-Nggorang berharap, dengan pengukuhan ini, pihak-pihak yang selama ini mengklaim tanah secara sepihak dapat menghentikan manuvernya dan kembali menghormati hukum adat yang berlaku. Mereka juga menyerukan agar publik tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang dinilai menyesatkan dan berpotensi merugikan masyarakat adat.(*)

Kedai Momica
Konten

Sebelumnya aktif sebagai kontributor di beberapa media siber. Kini aktif sebagai jurnalis di media siber Fajar NTT.

Komentar

You must be logged in to post a comment.