
Penulis: Nal Jehaut | Editor: Redaksi
LABUAN BAJO,FAJARNTT.COM – Meningkatnya tensi terkait klaim lahan ulayat di Boleng, Kabupaten Manggarai Barat, memantik perhatian JPIC SVD (Justice, Peace and Integrity of Creation) Serikat Sabda Allah. Komisi yang selama ini aktif mengadvokasi isu-isu keadilan sosial, hak asasi manusia, dan lingkungan di Manggarai Raya itu menilai kisruh klaim ulayat tidak boleh dibiarkan berkembang tanpa klarifikasi atas dasar sejarah dan adat yang sahih.
Ketua JPIC SVD Ruteng, Pater Simon Tukan, SVD, menegaskan bahwa ada hal-hal yang harus diluruskan agar tidak terjadi pembelokan, distorsi budaya, adat, dan sejarah yang berpotensi menciptakan konflik berkepanjangan.
Pater Simon menjelaskan bahwa JPIC SVD pernah melakukan studi khusus mengenai tumpang tindih klaim ulayat dan lingko di Boleng.
Hasil penelitian tersebut, kata Pater Simon, telah diseminarkan di Labuan Bajo dengan menghadirkan seluruh pemangku kepentingan, namun persoalan tidak otomatis selesai.
Karena itu, ia menegaskan bahwa pihaknya menginisiasi pertemuan besar semua tetua di kawasan Boleng, yang berlangsung selama tiga hari, 9-11 Maret 2022, di Aula Paroki Lando.
“Pertemuan itu bukan kaleng-kaleng. Semua tetua difasilitasi akomodasi, penginapan, dan konsumsi selama tiga hari,” tegasnya kepada Fajar NTT pada Kamis (11/12).
“Dalam forum tersebut, para tetua menguraikan sejarah keberadaan tiap komunitas, struktur mukang dan riang, serta batas-batas ulayat masing-masing. Pada hari ketiga, sempat terjadi perdebatan panas antara ketua dari Rareng dan Mbehal terkait batas ulayat, tetapi berakhir dengan kesepakatan bersama yang dituangkan dalam dokumen tertulis,” tambahnya.
Menurut Pater Simon, salah satu poin penting adalah penegasan bahwa Lengkong Warang secara sah merupakan bagian dari Ulayat Mbehal.
“Dengan demikian, para tetua Rareng yang ikut menandatangani dokumen tersebut tidak dapat dikaitkan dengan upaya pencaplokan wilayah itu,” ujar Pater Simon.
Salah satu tokoh yang hadir dalam pertemuan itu adalah Aleks Hata, pensiunan guru yang dikenal cukup berpendidikan. Di hadapan para tetua gendang Pitu tana Boleng, Aleks Hata mengakui dan menandatangani dokumen yang menyatakan dirinya sebagai tetua mukang Tebedo.
Namun, belakangan muncul narasi yang dikritik banyak pihak, termasuk Pater Simon. Aleks diduga mengakui keberadaan ulayat lain di Boleng di luar struktur tujuh gendang utama:Mbehal, Mbehel, Mbuit, Nggieng, Lada/Ngaet, Legam/Tureng, dan Rareng.
“Ketika mulai beredar narasi bahwa ada ulayat lain di tanah Boleng selain gendang Pitu, itu adalah pengkhianatan terhadap sejarah dan budaya,” tegas Aleks dalam pertemuan tersebut.
Ia bahkan menyinggung fenomena aneh ketika seseorang mengaku menjadi tetua dua masyarakat adat sekaligus sesuatu yang menurutnya tidak pernah terjadi dalam budaya Manggarai. Fenomena itu diibaratkan sebagai Ulayat ‘karang de ru’, atau ulayat hasil karangan bebas.
Pater Simon menegaskan bahwa nama Aleks Hata tercantum jelas sebagai salah satu penandatangan dokumen kesepahaman di Lando.
“Kalau dia menyangkal itu, berarti dia menipu tujuh ketua gendang Pitu, para generasi penerus mereka, serta semua saksi yang hadir waktu itu,” tutupnya.(*)











