Penulis: Vincent Ngara | Editor:
Labuan Bajo, FajarNTT.com – Gelombang reaksi masyarakat adat Terlaing, Lancang dan Rareng terhadap pernyataan Doni Parera yang bernada provokasi dan menghasut dalam video yang sempat viral di masyarakat, masih terus menjadi bahan cerita di tengah masyarakat.
“Amarah masyarakat adat nyaris tak terbendung dan siap turun aksi tetapi diredam tokoh adat,” kata Agus Albu melalui rilis yang diterima media ini, Senin (8/11/2021).
Dikatakannya, kemarahan masyarakat adat ini meluap karena Doni Parera ini secara sosiologis bukan warga adat Lancang, Terlaing atau Rareng.
“Apa legal standing orang ini tidak jelas. Ia pendatang” kata tokoh muda dari masyarakat adat Terlaing itu.
Jika kita cermati isi video itu, lanjut Agus, sebetulnya isinya biasa saja. Tetapi Titik api persoalan adalah ia menyampaikan itu di atas ulayat Terlaing, lingko Nerot. Ia mengatakan kami memperjuangkan tanah leluhur kami hingga pertumpahan darah. Tak ada satu ucapan pun yang menunjukan bahwa ia mewakili suatu masyarakat. Ia menyampaikan itu atas dirinya sendiri, dengan lantang mengatakan ini tanah leluhur kami.
“Memang siapa dia, apakah tanah adat lingko Nerot itu milik nenek moyangnya? Inilah pernyataan Parera yang membuat masyarakat adat marah,” lanjutnya.
Gelombang reaksi ini akhirnya merambah ke tokoh adat masyarakat Rareng dan Lancang.
“Dua masyarakat tapal batas ini sudah merupakan satu-kesatuan, baik tapal batas maupun ikatan batin dengan Terlaing. Jadi jika satu masyarakat diobrak-abrik tentu berdampak ke masyarakat lain,” terangnya.
Demi terhindar dari konflik horisontal, tutur Agus, forum pemuda melapor kasus Parera ini ke Polres Mabar. Tetapi hingga hari ini tidak ada perkembangan. Tetapi ketika saudara Parera melapor balik tokoh-tokoh adat ke Polres, pihak Polres menerima dengan Nomor: LP/B/182/11×1/2021/SPKT/REs Mabar/POLDA NTT.
“Masyarakat jadi bingung. Kami bertanya, mengapa laporan kami tidak ada lanjutan sementara pihak Parera diterima. Masyarakat adat masih menunggu laporan kami. Mohon pihak Polres bijak dalam hal ini. Tetapi kami siap hadapi LP Parera biar duduk persoalan,” tuturnya.
Kemudian yang kami sayangkan pernyataan kuasa hukum Doni Parera.
“Kuasa hukum tampaknya hanya fokus narasi video saja. Kalau sebatas isi video itu, tidak ada persoalan. Tapi bukan itu titik soalnya,” tegas Agus.
“Pernyataan saudara Parera ini “Purak Mukang, Wajo Kampung” artinya orang luar yang masuk kampung orang lain dan mengacaukan warga kampung. Semestinya kuasa hukum mengingatkan kliennya yang bukan warga adat setempat bahwa bagi orang Manggarai apa yang dilakukan Parera itu berbahaya. Mestinya menyampaikan kepada kliennya bahwa jika bukan warga adat dan tidak tahu adat, haruslah bersikap hati-hati. “Wada” (ucapan sakral) di depan compang, meski compang itu hanya akal-akalan, itu Pemali. Itu merusak nilai sakral adat,” tegasnya lagi.
Ia menambahkan, persoalan lain yang mengundang keresehan adalah pernyataan saudara Parera yang mengatakan bahwa pelabuhan multipurpuse Wae Kelambu, yang menjadi kebanggaan masyarakat Mabar itu bermasalah.
“Masalahnya apa? Lagi-lagi orang ini diduga beraksi untuk merejokin pembangunan Mabar,” pungkasnya.
“Dalam peresmian beberapa waktu oleh Presiden Jokowi, tampak hadir tua golo Lancang Theodurus Urus, pemilik Ulayat Menjerite dan Bone Bola, pemilik Ulayat Nerot. Ini simbol dan pratanda kehadiran dua tokoh ini di atas tanah Ulayat mereka. Pelabuhan Wae Kelambu berada di dua wilayah ini. Parera ini, orang dari luar dan benar-benar jadi penghambat pembangunan Mabar,” pungkasnya lagi.
Menurutnya, Doni Parera terkena ilusi peta palsu Bonafantura Abunawan yang memasukan Lingko Nerot dan Menjerit, tempat pelabuhan multipurpuse masuk Ulayat Mbehal. Lantaran kasus ini ia dipenjarakan dan sekarang masih menyandang kasus tersangka.
Senada dengan Agus Albu, Tua Gendang Terlaing, Hendrik Jempo menuturkan klaim pelabuhan Wae Kelambu milik masyarakat adat Mbehal tidak masuk akal.
“Peta rekayasa “Wau Pitu Gendang Pitu” dengan memasukan tanah adat masyarakat Lancang Menjerite milik Ulayat Mbehal tidak masuk akal. Masyarakat adat Mbehal itu berada jauh dibalik gunung dan antara Mbehal dengan Menjerite dan Nerot dilewati masyarakat adat Wangkung, Rareng, Rai, Terlaing, Tebedo. Setiap kampung adat ini ada gendang dan lingkonya. Jadi tidak mungkin Mbehal yang dibalik gunung klaim lingko Menjerite dan Nerot milik Mbehal,” tuturnya.
“Kami minta pihak Polres Mabar Usut Parera ini karena ia bukan warga adat. Jika tidak diredam, ia dikhawatirkan akan bergerak liar dan tak terkendali,” tutupnya.
Penulis/Editor: Vincent Ngara
CATATAN REDAKSI: apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada redaksi kami EMAIL.
Sebagaimana diatur dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.