
Senja mulai mengemas, matahari yang tadinya berpijar perlahan mulai menggelinding pergi diusir mendung. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 16.00 waktu Indonesia bagian tengah. Semua orang sedang memenuhi hukum kesehatan, berdiam di rumah untuk menghindar diri dari serangan virus corona. Barangkali, di antara deretan rumah, ada penghuninya masih bermimpi indah dalam ruangan sempit kamar tidur mereka.
Aku pun layaknya seperti mereka, karena lelah dengan aktivitasku sebagai dosen dan editor yang selalu dirundung naskah dan tugas.
Namun, seketika aku terbangun karena suara seorang bocah kecil. Dari suara teriakannya sepertinya dia seorang anak yang berusia sekitar 12 tahun.
“Koja……!, Koja…….! Koja….!” begitu dia berteriak.
Sayang teriakan itu tidak serta-merta membangunkan semua orang yang mungkin sedang asyik bertempur dengan mimpi-mimpi siang mereka yang kelewat senja. Tak satupun terjaga untuk membeli koja buatan tetangga.
Namun tidak buatku. Aku peduli mendengar suaranya yang begitu indah dengan alunan nada yang tinggi. Aku mendengarkannya terus sampai suaranya semakin jelas.
Aku segera mendekati suara itu. Aku membeli kojanya.
“Wah, kojanya enak apalagi masih panas,” pujiku.



