Oleh: Bernardus Tube Beding
(Pegiat Literasi dan Dosen PBSI Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng)
Pandemi Covid-19 merupakan horor yang terus merong-rong dan bereskalasi dengan kehidupan masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Tentu, masyarakat tengah berada dalam “darurat” melawan Covid-19 ini. Penyebaran pandemi tersebut menjadikan dunia sebagai planet digital yang penuh ketakutan. Artinya, pandemi Covid-19 telah menjadikan penghuni bumi sebagai manusia daring dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan.
Kebanyakan kaum pelajar, baik tingkat dasar, tingkat menengah, maupun tingkat tinggi tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari telepon genggam (handphone) dengan dalil belajar atau kuliah online. Hal ini tentu berakibat pada perpustakaan sekolah dan kampus, taman baca, rumah baca, komunitas baca, dan lain sebagainya terlihat sepi dibandingkan dengan halaman media sosial. Lebih dari itu, buku-buku bacaan cetak dipandang “sebelah mata” dan dijadikan hiasan rumah dan atau kos. Kondisi ini menjadi familiar dan berlangsung hingga saat ini. Kaum pelajar memiliki alasan ketika mereka ditanya, mengapa bahan bacaan cetak bukan menjadi prioritas utama? Mereka selalu memiliki asumsi bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya diperoleh dari buku, tetapi juga bisa didapat dan diakses dengan mudah melalui internet di handphone. Hal ini dibuktikan dengan aktivitas kaum pelajar dari beberapa lembaga pendidikan yang selalu menyibukkan diri dengan dunia maya sampai terbuai sehingga merenggut waktu-waktu terbaik untuk membaca hal-hal bermanfaat bagi perkembangan kognitif, psikomotorik, dan afektif diri.
Tidak bisa dimungkiri bahwa tidak sedikit masyarakat belum terbiasa melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman hasil baca. Bahkan, kebanyakan masyarakat belum dapat mengaktualisasikan diri melalui tulisan. Literasi kemahiran berbahasa tulis (membaca dan menulis) belum menjadi budaya dan tradisi bangsa Indonesia. Masyarakat lebih familiar dengan media visual (menonton), audio (lisan) atau mendengar dibandingkan membaca dan menulis.
Kondisi tersebut tidak hanya terjadi pada kalangan awam (masyarakat umum), di lingkungan pelajar dan pendidikan tinggi pun masih jauh dari apa yang disebut budaya literasi yang baik. Artinya bahwa kalangan kaum pelajar belum tertanam kecintaan membaca buku, selain sebatas membaca status atau keterpaksaan membaca karena adanya tugas. Bahkan, guru dan dosen pun tidak sedikit dari mereka yang sedang dalam situasi dan keadaan yang sama seperti mereka. Tidak sulit untuk mengidentifikasi secara lebih riil bahwa masyarakat Indonesia belum memiliki tradisi literasi yang baik. Sesungguhnya, budaya sadar literasi memang bukan kondisi yang bisa terwujud secara tiba-tiba dan instan.
Perlu “Keterpaksaan”
Kita mengetahui bahwa sadar literasi bagi kaum pelajar sudah dikumandangkan pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sejak tahun 2015 dalam program Gerakan Literasi Sekolah (GLS). GLS bertujuan menumbuhkan budi pekerti kaum pelajar melalui peningkatan budaya literasi. Pemerintah melalui Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 telah menyadari pentingnya penumbuhan karakter peserta didik melalui kebijakan membaca selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Tentu, ikhtiar pemerintah tersebut merupakan niat baik yang perlu diapresiasi.
Namun, untuk menyukseskan program yang besar tersebut tidak bisa secara instan dan bersifat temporary. Pemerintah ingin membangun suatu kebiasaan yang mengakar, maka perlu suatu pembiasaan yang terus menerus dilakukan secara konsisten. Program ini dapat diterapkan kepada peserta didik, manakala pendidiknya ikut terbiasa membaca dan menulis buku dan atau artikel. Sebaliknya, gerakan tersebut tidak mengakar dan tidak menjadi suatu kebiasaan yang mengakar dalam diri pendidik, maka peserta didik pun akan mati dari semangat berliterasi.
Tentu, dalam menyukseskan program gerakan literasi tersebut, harus ada keteladanan dari semua pihak, bukan hanya pendidik, tetapi juga kepala sekolah, penjaga sekolah, yayasan, dan komite sekolah. Keteladanan dari semua pendidik dan pengelolah lembaga dapat menumbuhkembangkan minat literasi peserta didik yang rendah. Ketika peserta didik melihat pendidiknya membaca dan menulis, maka dengan sendirinya peserta didik pun berkeinginan untuk melakukan hal yang sama. Semuanya membutuhkan komitmen dan perjuangan dari semua pihak untuk mensukseskan gerakan literasi sekolah. Lebih dari itu, harus ada kemauan dari dalam diri semua warga sekolah untuk mengembangkan diri dengan membudayakan literasi. Tanpa itu semua, gerakan literasi akan menguap begitu saja dan tidak berakar sebagaimana program-program lain yang dicanangkan pemerintah sebelumnya.
Tentu, ketika sebuah kebijakan hanya sebagai formalitas dan program kerja, maka tidak akan berjalan secara maksimal dan memuaskan. Seharusnya, pemerintah perlu mengawal sekaligus mengevaluasi secara berkala sehingga program dapat berjalan dengan maksimal dan sesuai dengan situasi serta kondisi di lapangan. Misalnya, mendorong dan mengintervensi lembaga-lembaga pemerintah dan swasta yang memiliki ruang tunggu untuk proaktif menyediakan bahan bacaan, seperti kantor kelurahan, kantor kecamatan, puskesmas, perbankan, koperasi, rumah makan, atau lembaga-lembaga sejenis lainnya yang meniscaya pengunjungnya untuk menunggu. Bukan menyediakan televisi di ruang tunggu. Hal ini memang tidak mudah, tetapi harus dipaksa untuk terbiasa membaca. Ketika tempat-tempat umum tersebut difasilitasi dengan taman atau ruang baca, maka waktu menunggu bisa dimanfaatkan untuk membaca.
Sesungguhnya, aktivitas literasi merupakan salah satu aspek penting dalam hidup manusia, khususnya kaum muda. Bahkan, sebagian besar proses pendidikan bergantung pada kemampuan dan kesadaran literasi individu, karena budaya literasi yang tertanam dalam diri generasi muda memengaruhi tingkat keberhasilan kaum muda, baik di jenjang pendidikan maupun dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Hal ini berarti tradisi literasi sangat berperan dalam menciptakan kemajuan peradaban suatu daerah. Karena itu, generasi muda, khususnya kaum pelajar harus berakar pada sadar literasi, sekaligus mengambil peran aktif menjadi motor penggerak untuk melajunya budaya sadar literasi di lingkungannya masing-masing.
(Cukup) Berakar pada Membaca dan Menulis
Sesungguhnya, pendidikan akan lebih maju dan berkembang pesat jika tradisi literasi terus dikembangkan melalui aktivitas membaca dan menulis. Roger Farr (1984) mengatakan bahwa reading is the heart of education. Konsep ini tidak dapat dimungkiri bahwa suatu pendidikan dapat ‘hidup’ jika komponen-komponennya, khususnya kaum pelajar hidup dan berakar pada membaca. Namun, tidak sedikit kaum pelajar yang ingin membaca dengan tujuan yang praktis. Misalnya, ada pelajar yang membaca buku agama dengan tujuan supaya dekat dengan Tuhan; ada pelajar yang membaca buku Jalan Pintas Berbisnis dengan tujuan mendapat predikat sebagai “orang terkaya”; bahkan ada pelajar yang membaca sebagai wujud formalitas supaya mendapat pujian dari guru atau pendidiknya. Padahal, literasi membaca memiliki dimensi empati dan perspektif. Artinya, masyarakat pembaca dapat mengetahui kehidupan sesama di daerah lain melalui kegiatan membaca. Misalnya, masyarakat pedesaan dapat mengetahui perkembangan kehidupan orang-orang di perkotaan dengan membaca surat kabar harian. Artinya bahwa banyak peristiwa kehidupan terjadi di belahan dunia yang tidak terjadi pada kehidupan pribadi kita, dapat kita rasakan dan memahaminya melalui kegiatan membaca berbagai informasi tertulis.
Selain membaca, kemampuan menulis dalam literasi juga sangat penting bagi kaum pelajar. Seperti kata Seno Gumira Ajidarma bahwa menulis adalah suatu cara untuk berbicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa, suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Hal ini berarti kegiatan menulis harus berakar dalam diri kaum muda. Kegiatan menulis sangat memungkinkan pengetahuan kaum pelajarterus berkembang. Hasil tulisan sebagai bukti menulis akan lebih dikenang oleh sejarah sepanjang masa, dibandingkan hasil tuturan lisan yang mudah hilang selepas gagasan tersebut dilontarkan oleh penutur. Hal ini senada dengan pernyataan Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca (1988: 352), “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Bahkan, lebih lanjut Pramoedya Ananta Toer dalam Anak Semua Bangsa (1981: 84) menegaskan “Karena kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi sampai jauh, jauh di kemudian hari”.
Artinya bahwa membaca dan menulis harus menjadi budaya literasi diri kaum pelajar yang mengakar. Literasi (membaca dan menulis) tidak lagi dipandang sebagai kewajiban, melainkan kebutuhan dengan memberinya ruang dan waktu yang memadai. Apabila kaum pelajar tidak memberi ruang dan waktu pada budaya literasi yang memadai, tentu akan mengalami kelaparan pengetahuan. Dengan berakarkan literasi dalam diri, kaum pelajar dapat menghargai hidupnya sendiri dan hidup orang lain.
Literasi Berakar dari Keluarga
Sesungguhnya, gerakan literasi yang sekarang marak diperbincangkan dan dibuat tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Justru gerakan yang membangun suatu kebiasaan ini harus dimulai dari unit terkecil dalam masyarakat, yakni keluarga. Saya belum memiliki data yang ilmiah tentang upaya penumbuhan budaya membaca di keluarga. Namun, saya meyakini bahwa keluarga-keluarga di pedesaan, juga di perkotaan masih belum sepenuhnya menyadari pentingnya budaya membaca dan menulis.
Apabila budaya literasi (membaca dan menulis) dimulai dari keluarga dengan sungguh, bukan mustahil kualitas sumber daya dan pendidikan kaum pelajarsemakin baik dan meningkat. Pandemi Covid-19 yang mengharuskan setiap orang lebih banyak di rumah sebenarnya menjadi kesempatan berharga bagi setiap keluarga. Semua anggota keluarga bisa berkumpul bersama, membaca surat kabar, buku, majalah, dan tulisan-tulisan lain yang mendukung perkembangan pengetahuan anak. Orang tua dan anak duduk di ruang keluarga sambil menikmati bacaan-bacaan ringan, seperti surat kabar, majalah, buletin, dan lain sebagainya. Orang tua dan anak harus menjadikan membaca dan menulis sebagai tradisi keluarga dan diskusi menjadi rutinitas keluarga dalam rekreasi bersama. Orang tua perlu mendorong anak untuk mengisi kesempatan-kesempatan luang dengan kegiatan-kegiatan bermanfaat, seperti membaca dan menulis. Karena itu, perpustakan literasi keluarga perlu ada di tengah keluarga sehingga tidak membuat anak meninggalkan rumah untuk kesenangan semu. Jika semangat ini dihidupkan dalam keluarga, maka kaum pelajarakan menjadi kompas penggerak untuk berakarnya budaya literasi dalam diri dan di lingkungan masing-masing.
Situasi pandemi Covid-19 ini sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai momentum membuka wawasan dan semangat berliterasi bagi kaum pelajar. Intruksi kaum pelajar untuk belajar di rumah harus didukung dengan pantauan para pendidik, baik secara luring dengan memperhatikan protokol kesehatan Covid-19 maupun daring. Kebiasaan ini penting dihidupkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa proses berliterasi terjadi di mana saja dan kapan saja sebagai nurturant effect, baik bagi kaum pelajar maupun terjadi pada orangtua. Lebih dari itu, momentum ini berdampak pada pasca Covid-19, dimana keluarga, sekolah, dan Kemendikbud memiliki strategi dan ekosistem baru dalam membantu anak-anak sebagai kaum pelajar untuk belajar dengan sistem daring yang dapat meningkatkan kualitas pemerataan pendidikan di Indonesia. (*)
CATATAN REDAKSI: apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada redaksi kami EMAIL.
Sebagaimana diatur dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.