
Penulis: Tim | Editor: Redaksi
RUTENG,FAJARNTT.COM – Wanatani atau agroforestry bukanlah konsep baru bagi masyarakat Manggarai. Jauh sebelum istilah ini dikenal dalam dunia akademik dan pembangunan pertanian modern, para petani di Manggarai telah mempraktikkannya sebagai warisan leluhur yang tumbuh dari pengalaman panjang berinteraksi dengan alam.
Pengelolaan lahan dengan memadukan pohon, tanaman pangan, tanaman tahunan, dan tanaman bumbu dapur ini menjadi identitas pertanian masyarakat Manggarai dari generasi ke generasi.
Secara ilmiah, agroforestry didefinisikan sebagai sistem pertanian terpadu yang menggabungkan tanaman tahunan (pohon-pohonan) dengan tanaman pertanian di lahan yang sama.
Tujuannya jelas: meningkatkan produktivitas, mencegah erosi, meningkatkan keanekaragaman hayati, sekaligus memperbaiki kualitas tanah. Keunggulan tersebut yang membuat model ini semakin relevan di tengah ancaman perubahan iklim dan degradasi lahan.
Pada tahun 2006, seorang mahasiswa program S2 dari sebuah perguruan tinggi di Kopenhagen melakukan penelitian bersama Yayasan Ayo Indonesia. Penelitian itu menegaskan bahwa pola wanatani yang selama ini diterapkan petani Manggarai bukan sekadar kebiasaan, melainkan kearifan ekologis yang terbentuk dari pengetahuan lokal.
Pola Agroforestry yang Hidup di Setiap Pekarangan dan Kebun
Di desa-desa Manggarai, mudah dijumpai kebun dan pekarangan yang ditanami beragam tanaman: pohon, pisang, cengkeh, kopi, ubian, jagung, keladi, hingga berbagai bumbu dapur.
Kombinasi tanaman umur pendek dan panjang itu tentu memerlukan perhitungan matang.
Menurut pengakuan para petani, pola ini dipilih untuk memastikan ketahanan pangan keluarga: ada sumber karbohidrat, sayuran sehat, pakan ternak, bumbu dapur, hingga komoditas bernilai ekonomi seperti kopi dan cengkeh. Selain itu, pohon-pohon tertentu menjadi sumber kayu bangunan untuk kebutuhan rumah tangga.
Kampung Kalo: Agroforestry yang Hidup di Lahan Miring
Pada akhir Januari 2025, tim Yayasan Ayo Indonesia mengunjungi seorang anggota kelompok disabilitas di Kampung Kalo, Desa Lentang, Kecamatan Lelak. Kampung yang berada pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut ini memiliki topografi berbukit.
Jalan menuju kampung sudah diaspal dengan baik, meskipun lebar badan jalan masih menyulitkan dua kendaraan berpapasan.
Sepanjang perjalanan dari Ketang ke Kampung Kalo, pola agroforestry tampak jelas. Gamelina, ampupu, dan mahoni tumbuh berdampingan dengan tanaman umur pendek seperti nenas, ubi jalar, jagung, dan jambu biji sebuah gambaran nyata tentang bagaimana masyarakat setempat menjaga produktivitas lahan miring.
Mama Anas: Panen dari Tanah yang Kurang Subur
Di kampung itu, Mama Anas (65), yang ditemui saat memanen nenas, mengatakan bahwa meskipun tanah di sana tergolong podsolik kuning, tanah yang dikenal miskin unsur hara, mereka masih bisa memanen berbagai hasil kebun seperti nenas, jambu, kestela, ubi singkong, dan daun ubian.
Namun, ia mengeluhkan satu persoalan penting: ketersediaan pupuk organik.
“Keterbatasan ternak untuk memastikan sumber pupuk kandang menjadi kendala kami di sini,” ujarnya.
Pekarangan Hubert Jehatu: Sorgum Tinggi Menjulang di Bawah Naungan Pohon
Hal paling menarik ditemukan ketika tim memasuki pekarangan milik Hubert Jehatu (53) dan istrinya Kolekta Ngamun (52). Pekarangan seluas 3 are itu tampak seperti laboratorium alam.
Di tengah tanaman kopi, mangga, mahoni, gamelina, cengkeh, ubi jalar, halia, dan kestela, tumbuh tegak sorgum dengan malai 30 cm dan tinggi lebih dari 3 meter. Sorgum yang ditanam pada November 2024 tampak siap panen.
Kolekta menyampaikan bahwa hasil panen sekitar 30 kg sorgum akan digunakan sebagai benih untuk musim tanam berikutnya, dibagikan kepada tetangga, dan sebagian dikonsumsi sendiri.
Keberhasilan sorgum ini menunjukkan bahwa tanaman pangan lokal ini dapat beradaptasi sangat baik dalam sistem wanatani, selama jarak tanam diatur sesuai syarat tumbuh tanaman. Meski ada naungan pohon, cahaya matahari tetap masuk sehingga proses fotosintesis berlangsung optimal.
Cover Crop yang Melindungi Tanah dari Erosi
Salah satu manfaat besar dari model wanatani Hubert adalah perlindungan tanah. Tanaman ubi jalar dan kestela berdaun lebar berfungsi sebagai cover crop yang menahan aliran permukaan ketika hujan deras.
“Di saat hujan turun dengan curah tinggi, tidak ada air permukaan dari kebun yang mengalir keluar ke bagian bawah pekarangan,” kata Hubert.
Ini menunjukkan bahwa hampir seluruh air hujan terserap ke dalam tanah, memperbaiki porositas dan menjaga struktur tanah.
Pelajaran Penting: Ketahanan Pangan dan Konservasi Lahan dalam Satu Paket
Model wanatani ala Hubert dan banyak petani Manggarai lainnya menawarkan pelajaran penting:
– Lahan sempit sekalipun dapat memenuhi – kebutuhan pangan, sayur, dan pendapatan keluarga.
– Tanaman tahunan menyediakan kayu bangunan dan pendapatan jangka panjang.
– Cover crop melindungi top soil dari erosi pada lahan miring.
– Keanekaragaman tanaman menjaga stabilitas ekosistem kebun.
– Tanaman pangan lokal seperti sorgum kembali menemukan tempatnya di sistem pangan masyarakat.
Agroforestry terbukti bukan sekadar teknik budidaya, tetapi strategi ekologis dan ekonomi keluarga yang menyatu dalam budaya Bertani Manggarai.
Dengan ancaman perubahan iklim yang semakin nyata, ditandai curah hujan ekstrem pada November-Januari, pola wanatani menjadi jawaban nyata untuk mencegah kerusakan lahan, menjaga keanekaragaman hayati, sekaligus menjamin ketahanan pangan masyarakat.(*)




