
Penulis: Tim | Editor: Redaksi
MATARAM, FAJARNTT.COM – Harapan baru muncul dari perut bumi Flores. Potensi besar energi panas bumi (geothermal) kini menjadi tulang punggung transisi energi dari pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) menuju sumber energi yang lebih murah dan ramah lingkungan.
Para ahli menyebut Flores sebagai kawasan strategis dalam revolusi energi bersih Indonesia Timur.
Ali Ashat, pakar geothermal dari Institut Teknologi Bandung (ITB), menyatakan bahwa energi panas bumi adalah opsi terbaik yang dimiliki Flores.
Dalam diskusi publik yang digelar Sustainable Solutions Foundation (SSF) Indonesia, Jumat (25/04/2025), Ali menegaskan bahwa potensi geothermal Flores jauh lebih menjanjikan dibandingkan PLTD yang selama ini bergantung pada subsidi negara.

“Flores punya sesuatu (panas bumi) yang lebih murah dan bermanfaat. Kalau mau energi bersih yang sudah terbukti dan bisa dijalankan secara berkelanjutan, jawabannya adalah geothermal,” ujar Ali.
Subsidi Bisa Dialihkan untuk Infrastruktur Lain
Menurut Ali, jika pengembangan PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) berjalan lancar, maka subsidi negara yang selama ini membiayai PLTD bisa dialihkan ke sektor lain seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Namun, ia juga menyadari bahwa proses ini tidak bisa serta-merta diterima masyarakat. Kekhawatiran akan dampak lingkungan, mulai dari pencemaran air tanah, emisi gas berbahaya, hingga risiko gempa, masih menjadi momok di banyak wilayah eksplorasi geothermal.
“Kekhawatiran itu wajar, tapi banyak juga yang didasarkan pada kesalahpahaman. Tidak semua geothermal sama, sistemnya pun berbeda-beda,” jelas Ali.
Ia menegaskan bahwa sistem geothermal di Indonesia mayoritas menggunakan metode hydrothermal, yakni memanfaatkan air panas yang sudah tersedia secara alami di bawah permukaan bumi.
Hal ini, kata dia berbeda dengan teknologi geothermal lainnya seperti engineered geothermal system (EGS) atau petrothermal yang digunakan di negara lain.
Geothermal: Bukan Tambang, Tapi Energi Terbarukan
Pernyataan Ali diperkuat oleh pakar geothermal Universitas Gadjah Mada (UGM), Pri Utami, dalam audiensi bersama Pemprov NTT dan Ditjen EBTKE.
Menurutnya, geothermal bukanlah pertambangan dalam arti eksploitasi sumber daya tak terbarukan, melainkan pemanfaatan energi terbarukan dari panas bumi.
“Geothermal adalah anugerah Tuhan. Panas bumi bukan tambang. Yang kita manfaatkan adalah energi panasnya, bukan mengambil material dari dalam bumi,” tegas Pri.
Pri juga menekankan bahwa manifestasi seperti asap, lumpur panas, suara gemuruh, dan bau belerang adalah gejala alamiah yang bahkan sudah terjadi sebelum aktivitas pengeboran dilakukan.
Ia mencontohkan Kawah Sikidang di Dieng yang dikenal aktif secara alami bahkan sebelum ada intervensi manusia.
“Manifestasi panas bumi itu seperti di Sikidang, Dieng, sudah ada sejak lama dan berpindah-pindah. Tidak berarti setiap uap atau gemuruh itu akibat proyek geothermal,” tambahnya.
Lebih jauh, ia menyarankan agar potensi manifestasi panas bumi justru bisa dimanfaatkan untuk wisata edukatif, pengering hasil pertanian, atau sumber pemanas lokal.
PLN Siapkan Pendekatan Humanis Lewat Tradisi Lokal
Di sisi pengembang, General Manager PT PLN (Persero) UIP Nusra, Yasir, menyatakan bahwa pihaknya terus membangun komunikasi yang intensif dan terbuka dengan masyarakat lokal.
Hal ini, jelas dia, dilakukan lewat metode Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dan pendekatan berbasis budaya seperti tabe gendang sebagai upacara adat sebagai bentuk penghormatan terhadap komunitas lokal.
“Kami tidak ingin sekadar masuk sebagai pengembang, tapi hadir sebagai bagian dari masyarakat Flores. Tua gendang, tokoh adat, pemuka agama, dan kelompok tani kami rangkul semua,” tutur Yasir.
Upaya ini, kata Yasir, sangat penting untuk menciptakan trust di tengah masyarakat yang pernah mengalami trauma atau miskonsepsi terhadap proyek energi.
Potensi Luar Biasa, Tapi Butuh Persetujuan Sosial
Flores telah ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi (Geothermal Island) oleh pemerintah Indonesia. Namun tanpa kepercayaan dan partisipasi publik, potensi itu bisa terkubur oleh konflik sosial dan disinformasi.
Dalam konteks ini, pemerintah dan PLN ditantang untuk tidak hanya berpikir teknokratik, tetapi juga memperhatikan etika komunikasi, hak atas informasi, dan keadilan distribusi manfaat.
Seperti kata Pri Utami, energi geothermal bukan semata proyek pembangunan, melainkan “jalan menuju kemandirian energi yang bersih, adil, dan lestari”.(*)

CATATAN REDAKSI: apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada redaksi kami EMAIL.
Sebagaimana diatur dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.