
Penulis: N. Firman | Editor:
Tuna Susila
Kata tuna susila di sini mungkin bukan diartikan sebagai sopan santun, tetapi mungkin sebagai moral. Jadi, mereka dianggap sebagai wanita tidak bermoral karena mencari uang dengan menjual tubuhnya sendiri, khususnya untuk melayani nafsu seksual para pelanggannya.
Tetapi tidak ada yang menuduh para pelanggan sebagai “tuna susila”, padahal merekalah yang secara sengaja mendatangi para pelacur itu. Belum pernah ada terdengar pelacur yang berkeliling rumah atau kantor-kantor untuk menawarkan jasa pelayanan seks. Khususnya pelacur kelas rendahan. Mereka menunggu di tempatnya sendiri. Kalau ada pelanggan akan mereka layani dan kalau tidak ada pelanggan mereka pun akan pasrah. Tidak jarang mereka menjadi korban pemerasan dan kekerasan dari germonya, tukang pukul, atau juga pelangga1nnya. Tetapi tidak ada pula yang menuduh germo dan tukang pukul itu sebagai tuna susila. Gelar tuna susila hanyalah ditujukan kepada pelacurnya.
Sebagian dari mereka, bahkan mungkin sebagian besar melacur karena mereka tidak mempunyai modal dan keterampilan lain untuk mencari uang. Satu-satunya modal hanyalah tubuhnya. Dibandingkan dengan para pejabat yang korupsi meskipun sudah mendapat berbagai fasilitas, siapakah yang lebih tidak bermoral? Sebagian dari pejabat itu juga ada yang ikut memeras kaum pelacur. Siapa yang lebih tepat untuk digelari “tuna susila”? Ironisnya justru para pejabat itulah yang memberi cap pada para pelacur sebagai “wanita tuna susila”. Dan juga ironis bahw1a kaum wanita yang berada di pemerintahan dan di parlemen ikut menuduh wanita pelacur sebagai wanita tuna susila.
Bukannya membela kaumnya yang tersisih itu. Belum pernah ada perjuangan kaum wanita yang berada di atas untuk berusaha menghentikan praktik pemeraan para pelacur oleh germo, tukang pukul, dan pejabat. Atau memperjuangkan agar orang tua yang mengalami kemiskinan tidak mudah terbujuk untuk menjual anaknya kepada germo-germo yang mencari korban ke desa-desa melalui iming-iming “pekerjaan yang layak”. Memperjuangkan agar wanita tidak diperlakukan sebagai harta milik dan komoditi yang dapat diperjualbelikan. Atau terjun ke lapangan untuk membantu mereka mengeluarkan para pelacur itu dari lingkaran yang tidak dapat mereka tembus.


CATATAN REDAKSI: apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada redaksi kami EMAIL.
Sebagaimana diatur dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.