
Penulis: Yulianus Onca | Editor: Redaksi
RUTENG, FAJARNTT.COM – Suasana sakral menyelimuti Gendang Curu di Kelurahan Karot, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, ketika masyarakat adat setempat kembali menggelar Penti Weki Peso Beo, sebuah ritual tradisi yang telah diwariskan sejak ratusan tahun lalu.
Pada Sabtu, 15 November 2025, seluruh warga berkumpul untuk merayakan syukur panen, memohon keselamatan, dan menandai awal tahun baru adat Manggarai.
Ketua Panitia Penti, Asteri Acak, menyebut momentum ini menjadi titik temu antara kepercayaan leluhur, kehidupan sosial, dan harapan masa depan.
“Penti bukan sekadar ritual, tetapi cara kami memperbarui hubungan dengan alam, leluhur, dan sesama manusia.” katanya.
Prosesi Ritus dari Lingko hingga Wae Teku
Penti tahun ini diawali dengan prosesi Baro Lodok di beberapa lingko, yang merupakan lahan pertanian berbentuk jaring laba-laba yang menjadi simbol tata ruang adat Manggarai.
Dalam penjelasannya, Asteri menuturkan bahwa prosesi ini bukan hanya ritual pembuka, tetapi juga bentuk penghormatan kepada tanah sebagai sumber kehidupan.
“Baro Lodok mengingatkan kami bahwa tanah dan alam adalah pemberi hidup. Menginjakan kaki di lingko berarti menyadari bahwa hasil panen yang kami syukuri hari ini bukan semata hasil kerja manusia, tetapi juga berkah dari Pencipta dan alam raya,” ujarnya dengan penuh makna.
Usai prosesi Lodok, warga bergerak menuju Kampung Lama Golo Curu, tempat asal-usul kediaman leluhur mereka. Di tempat ini, warga memanjatkan doa agar roh-roh leluhur terus melindungi keturunan mereka. Ritual kemudian dilanjutkan dengan Baro Boa, sebuah bentuk penghormatan simbolik terhadap pusat kampung.
Puncak dari seluruh rangkaian itu adalah Baro Wae Teku, prosesi penyucian yang berlangsung pada pukul 15.00 WITA. Pada saat ini, air dianggap sebagai media pemurni diri dan kampung. Asteri menjelaskan bahwa momen ini adalah simbol pembersihan lahir dan batin.
“Kami percaya bahwa sebelum memasuki tahun baru, hidup dan kampung harus bersih. Baro Wae Teku adalah cara kami meninggalkan beban, penyakit, dan ketidakharmonisan, lalu menyongsong kehidupan baru dengan hati bersih,” katanya panjang lebar.
Makna Lima Dimensi Sosial-Spiritual dalam Kehidupan Manggarai
Dalam tradisi Manggarai, keseimbangan sosial diatur oleh lima dimensi penting: uma bate duat, wae bate teku, natas bate labar, compang bate takung, dan mbaru bate kaeng.
Asteri menjelaskan setiap dimensi itu memuat filosofi yang menata cara hidup masyarakat Manggarai. Uma bate duat mengatur hubungan kekeluargaan dan rumah. Wae bate teku menegaskan pentingnya air sebagai pusat kehidupan. Natas bate labar merujuk pada ruang publik, tempat warga berinteraksi. Compang bate takung adalah pusat spiritual kampung sebagai tempat persembahan dan doa. Sementara mbaru bate kaeng menjadi simbol kekerabatan dan kesatuan keluarga besar.
“Dimensi-dimensi ini bukan teori; ini adalah cara hidup. Dengan penti, lima dimensi ini berkumpul dalam satu rangkaian ritus, seolah-olah seluruh unsur alam dan manusia kembali selaras,” jelas Asteri.
Ia menambahkan, keterlibatan seluruh warga baik yang tinggal di kampung maupun yang datang dari perantauan, membuktikan bahwa identitas budaya tetap hidup.
“Warga pulang bukan karena diundang, tetapi karena merasa itu panggilan hati. Mereka merasa terikat oleh budaya ini,” katanya.
Memperkuat Kebersamaan dan Harapan Masa Depan
Asteri juga menegaskan bahwa penti bukan hanya ritual masa lampau, tetapi ritual yang relevan bagi kehidupan modern. Nilai kebersamaan yang dibangun melalui penti menjadi energi sosial yang penting bagi kemajuan warga.
“Harapan kami sederhana tapi penting. Anak-anak yang sedang sekolah bisa menyelesaikan pendidikan dengan baik. Mereka yang bekerja mendapatkan rezeki yang layak. Dan yang tinggal di kampung menjalani hidup damai, sehat, dan penuh persaudaraan,” ungkapnya.
Ia juga menekankan bahwa dalam dunia yang semakin individualistik, penti menjadi ruang yang menyatukan kembali warga dalam satu visi kebersamaan.
Generasi Muda Dilibatkan, Budaya Diperkuat
Dalam penjelasan lebih jauh, Asteri menyampaikan kekhawatiran generasi muda semakin jauh dari nilai-nilai adat. Karena itu, pelibatan mereka dalam penti adalah kunci vital bagi keberlangsungan budaya ini.
“Kalau orang muda tidak diberi ruang belajar, budaya ini bisa hilang perlahan. Mereka harus tahu sejarah, tahu struktur ritus, dan tahu nilai musyawarah serta mufakat yang selama ini menjadi dasar keharmonisan kami,” katanya.
Ia menegaskan bahwa budaya harus diwariskan melalui tindakan, bukan hanya cerita.
“Orang muda menghormati orang tua, dan orang tua memberi ruang kepada orang muda. Jika itu berjalan, kultur akan tetap hidup,” tandasnya.
Antusiasme Warga Mengalir, Tarian Caci Jadi Magnet Tradisi
Tokoh pemuda Gendang Curu, Dedy Ongkor, menilai bahwa pelaksanaan penti tahun ini bukan hanya sakral tetapi juga menggembirakan.
Menurutnya, antusiasme warga menunjukkan betapa dalamnya kecintaan mereka terhadap warisan leluhur.
“Saat acara berlangsung, baik ase maupun kae hadir semua. Tidak ada yang merasa tamu; semua merasa bagian dari kampung ini. Itu yang saya sebut kekuatan budaya,” ungkap Dedy.
Ia juga menyoroti keterlibatan anak-anak muda yang kini mengambil peran penting dalam mempersiapkan penti, mulai dari menjadi pendamping ritus, mengurus logistik, hingga terlibat dalam tarian caci.
“Untuk menjaga budaya tetap hidup, anak muda harus menjadi pelaku. Caci bukan sekadar tontonan, tapi bentuk penghormatan pada leluhur, keberanian, dan persaudaraan. Melihat banyak anak muda yang tampil, saya sangat bangga,” terangnya.
Dedy berharap agar ke depan persiapan penti dilakukan lebih matang sehingga bisa membawa dampak lebih besar bagi penguatan identitas budaya masyarakat adat Gendang Curu.(*)




