Penulis: Vincent Ngara | Editor:
Oleh: Waldus Budiman
Alumnus Filsafat Ledalero
Namanya pertama kali aku dengar. Kala itu, aku sedang berdiskusi dengan teman di kosnya. Kami membicarakan banyak hal termasuk cinta. Temanku masih status mahasiswa di salah satu kampus di Flores. Orangnya cerdas dan suka membaca. Hampir separuh waktu senggang digunakan untuk membaca. Tahun 2021 dia sangat beruntung. Dirinya salah satu dari sekian mahasiswa yang lolos dalam program kampus mengajar. Tentunya ini sebuah prestasi untuk mahasiswa termasuk teman saya.
Di sela-sela ngopi, saya membicarakan suatu isi buku yang kebetulan sudah saya baca isi keseluruhan dari buku tersebut saat kuliah. Lalu dia spontan beraksi.
“Kae (Kaka) saya sudah baca setengah dari buku tersebut. Tapi buku itu sudah di pinjam oleh sahabat saya namanya Avelina,”
“wahh, luar biasa. Isi buku itu sangat bagus. Alangkah baiknya kamu harus membacanya sampai tuntas,”
Ketika hendak pulang, spontan saja saya menanyakan siapa itu Avelina?
“Kaka, Avelina itu teman kampus saya. Dan kemarin dia juga salah satu mahasiswi yang lolos program kampus mengajar,” jelasnya.
Setelah pertemuan kemarin, ada rasa penasaran yang membuncah di pikiran. Seolah-olah nama itu menjadi begitu penting dalam keadaan sesuatu yang tidak tau. Aku memang tau bahwa aku tidak mengetahui siapa itu Avelina. Begitu pun sebaliknya bahwa Avelina tau jika dirinya tidak tahu siapa aku. Dan pada akhirnya kami sama-sama tidak tau. Namun, hanya aku yang tau jika ada penasaran yang membuncah tentang siapa itu Avelina.
Berawal dari rasa penasaran tersebut, aku dian-diam mencintainya dalam imajinasi yang aku ciptakan sendiri. Imajinasiku dengan sendirinya menggambarkan siapa itu Avelina. Dari bibir yang seksi, hidung mancung, rambut terurai lurus dan memiliki pinggul yang seksi. Semuanya serba sempurna.
Pada suatu kesempatan, aku mendatangi kampusnya. Tujuan kedatanganku ke sana untuk bertemu salah satu dosen yang kebetulan mengajar di kampusnya dan khususnya pada fakultas Avelina menimba ilmu. Setelah komunikasi lewat telefon, aku disuruh untuk langsung ke ruangannya. Saat membuka pintu, dalam ruangan tersebut, tampak tiga orang mahasiswi. Di tangan mereka terdapat beberapa buku dan modul bahan kuliah. Sang dosen mempersilakan duduk.
“Enu (nona) Avelina tolong berikan satu kursi untuk ase (adik) Waldus,” kata sang dosen. Pandangan saya langsung tertuju ke arah orang ditunjuk oleh sang dosen.
Benar. Tidak ada yang keliru dengan penggambaran imajinasiku kemarin. Sangat sempurna. Bibir munggil, dan pinggul seksi menjadi fokus perhatianku. Apakah benar ini pemilik nama yang aku dengar kemarin.
Ketika pamit dari ruangan dosen, kami keluar bersamaan. Mereka bertiga berjalan di depan. Dengan keberanian yang cukup, aku menyebut nama Avelina. Seketika itu juga, dia menoleh ke belakang dan menyapaku.
“hai Kaka. Ada apa?”
“maaf mengganggu adik. Apakah saya bicara denganmu sebentar,”
Keduanya temannya pun meninggalkan kami dengan senyum di bibir.
“Maaf jika sebelumnya, aku datang di saat enu lagi sibuk,” kataku di awal.
“Apakah enu kenal nama ini,” aku menyebutkan nama temanku kemarin.
Ini memang sebuah strategi yang sudah lama aku rancang. Bagaimanapun dosa seorang sahabat pasti akan terampuni jika itu demi suatu kebaikan.
“Apakah Kaka kenal saya,” katanya sambil tersenyum.
“sebenarnya aku sudah lama mendengar nama ini. Namun karena belum berkesempatan untuk ketemu maka hari ini aku ingin mengenal siapa itu Avelina,” kataku sambil mengusap mata.
Kami lama berdiam diri. Aku menetap jauh ke depan. Berusaha berpikir keras. Bagaimana caranya agar situasi yang kaku ini menjadi lebih akrab. Aku harus mencari topik yang akrab dengan dirinya.
“Enu bagaimana kesan waktu lolos kampus mengajar kemarin,”
Ini memang pertanyaan konyol. Aku memang sudah mengetahui apa jawabannya. Pasti dirinya bahagia? Siapa yang tidak bahagia dengan prestasi. Ah.. ada-ada saja. Misalnya dalam percintaan, setelah berjuang cukup lama dan jadian tetapi pada akhirnya dia menikah dengan orang lain. Itu kan prestasi bangsat.
“Saya bahagia kak. Tetapi dibalik itu, ada perjuangan yang sampai saat ini tak pernah aku lupakan,”
Aku tidak melanjutkan pertanyaan soal kesulitan apa yang dilaluinya. Lama kami merenung. Aku memang bodoh. Persiapan yang tidak matang menciptakan pertemuan yang tidak harmonis dan kaku tentunya. Dia pamit dan menemui teman-temannya. Dia pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah-kata pun.
Satu bulan setelah pertemuan itu, tak sengaja aku menemuinya bersama orang lain di kafe tempat biasa aku menulis rindu. Sakit rasanya. Tetapi aku menyadari bahwa aku tidak memiliki hak soal itu. Aku menemuinya dengan senyum yang sama. Lelaki di sampingnya kelihatannya sudah mapan dalam pekerjaan. Mereka terlihat sangat akrab. Seperti ada sesuatu ikatan di antara mereka berdua.
Aku berusaha untuk mengenalinya seperti sahabat jika dibandingkan menganggap sebagaimana dalam imajinasiku. Perlahan-lahan rasa itu pergi meninggalkan kenangan dalam imajinasi. Sesosok wanita yang aku lukiskan dalam bayang dan yang pernah menjadi hantu dalam ingatanku sinarlah sudah. Engkau pergi bersama ingatan yang pernah ada namun hilang dibalik pertemuan di kafe tempat biasa aku menenun rindu.
Satu tahun berlalu, aku bertemu lagi dengan Avelina pada salah satu acara diskusi buku. Dia datang sendirian. Naik ojek dari tempat dia menginap. Kebetulan juga aku menghadiri diskusi tersebut sendirian. Kami saling menatap lalu melemparkan senyum. Jantungku berdebar, ingin rasanya hilang dari tempat itu. Aku merindukan peristiwa genosida pada saat itu. Tak kuat menahan cemburu buta.
Ketika acara selesai, aku menawarkan diri untuk mengantar pulang dengan motor.
“enu pulang dengan siapa? Ada yang jemput? Atau pulang sendirian? Atau aku yang antar?” beberapa pertanyaan bertubi-tubi muncul begitu saja dari mulutku. Aku melihat senyum manis di bibirnya. Sepertinya ada masa depanku yang aku harus perjuangkan.
“Kalau Kaka tidak keberatan, antar aku pulang,” katanya manja.
Dengan penuh percaya diri dan sambil mengatur strategi percakapan dalam perjalanan, aku dan dirinya hilang dibalik dinginnya kota itu. Semakin Verza berlari kencang, saat itulah pelukan hangat yang tak kuduga sebelumnya menempel di punggungku.
CATATAN REDAKSI: apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada redaksi kami EMAIL.
Sebagaimana diatur dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.