Penulis: Tim | Editor:
Oleh : Hardy Sungkang
(Bekerja di UNIKA Santu Paulus Ruteng)
Pemilihan kepala daerah, Bupati dan Wakil Bupati di beberapa daerah di Indonesia semakin mendekat. Masing- masing calon terus menerus meraba masyarakat akar rumput untuk melelangkan loyalitas dan kredibilitas. Tidak bisa dibendung, diskusi seputar calon terus menerus bergulir di setiap perkumpulan massa. Diskusi tersebut merupakan titik terang warna demokrasi lokal sudah mengakar. Artinya, secara demokratis, masyarakat kita sudah memahami partisipasi mereka dalam berpolitik.
Kabupaten Manggarai merupakan salah satu daerah yang sedang menyiapkan pemimpin barunya untuk lima tahun mendatang. Tentu, warna demokrasi pada tataran masyarakat Manggarai saat ini tidak bisa dibendung. Diskusi politik dan keterlibatan masyarakat cukup signifikan. Kaum-kaum elit terus “turun gunung”. Demikian pun kaum milenial yang nyatanya tampak sadar akan kelahiran politik tingkat lokal Manggarai. Tentu, kenyataan ini merupakan suatu kelahiran baru menuju masa pencerahan politik di Manggarai.
Realitas menggambarkan bahwa pergerakan atau siasat politik masing-masing calon mulai membongkar kemapanan pemilih. Entah sadar atau tidak, kenyataan tersebut sudah masuk pada ranah pemilih lokal di Manggarai. Akhir-akhir ini, penulis seringkali mendengar kicauan-kicauan pemilih tentang pengakuan basis dan penolakan calon untuk berkampanye di wilayah basis. Hal ini ditandai dengan beberapa aksi liar yang dilakukan oleh kaum-kaum yang tidak memahami nilai demokrasi sesungguhnya. Terkadang aksi penolakan dan penghalangan mulai muncul di beberapa kampung di wilayah Manggarai. Lebih ekstrimnya lagi, ketika menolak pasangan calon yang hendak berkampanye di wilayah basis calon tertentu. Aksi tersebut menjadi sedih, karena menunjukkan kehadapan publik bahwa kesadaran demokrasi lokal kita masih “jongkok”.
Berbicara tentang kehadiran salah satu satu pasangan calon kepala daerah yang sering kali ditolak dan dihadang menuai perdebatan panjang. Ruang publik media sosial hampir saja dipenuhi dengan caci maki antar kubu. Perang melawan sesama kini terasa. Hal demikian tentunya memiliki tujuan dan alasan mendasar. Namun, pro dan kontra itu wajar dan riil terjadi pada pemilih kita di Manggarai. Kendati, sadar atau tidak bahwa reaksi yang berlebihan dari segelintir orang terhadap calon tertentu itu dapat menjadi salah satu “luka” sistem perpolitikan kita. Secara kasat mata, hal mendasar yang ingin saya sampaikan bahwa, barang siapa yang mengidolakan salah satu paslon tertentu jangan lupa menerima juga mereka yang tidak kita idolakan. Bagaimanapun, demokrasi secara sistematis menekankan kepada kita selaku subjeknya untuk mencerna dan berjalan sesuai rel. Saya mau tekankan bahwa, sikap respect kita terhadap siapa saja harus kita tunjukan dalam negara demokrasi. Muncul satu pertanyaan mendasar dalam benak saya adalah, bagaimana mungkin kita (pemilih) mengetahui visi dan misi salah satu calon kalau kita tidak siap mendengarkan mereka?.
Secara sistematis, gejolak perpolitikan kita pasti berubah drastis ketika kita tidak siap mendengar setiap calon saat memaparkan program kerja mereka. Mungkin tidak terlalu berlebihan kalau kita hanya berceloteh saat berdialog bersama para calon. Namun, terkadang yang menjadi chaos dan mandulnya rasionalisasi kita, ketika kita bersikap membangkang terhadap kehadiran mereka. Mungkin tidak hanya sampai pada sikap disobedience saja, malah kenyataan riil yang terjadi dan sampai viral di ruang publik media sosial adalah reaksi penolakan kita yang sungguh luar biasa mirisnya.
Saya tidak pesimis dengan semua pasangan tertentu yang berani bermain di panggung politik. Saya malah apresiasi dan optimis bahwa kehadiran mereka pasti membawa tujuan dan orientasi yang jelas yakni perubahan. Perubahan dalam arti, tidak melupakan sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Perubahan itu juga mesti dimanifestasikan secara detail agar masyarakat memahami konteks perubahan yang terus menerus didengungkan. Jika tidak, maka perubahan itu hampa tanpa kreasi nyata.
Dari persoalan di atas saya mengambil sebuah kesimpulan bahwa di sinilah letaknya kematian status kita sebagai pemilih rasional. Hasil pemilu adalah barang publik (public goods). Artinya, siapa pun yang akan terpilih menjadi pemimpin politik atau kebijakan politik apa pun yang akan dibuat, maka tidak seorang pun yang memperoleh keuntungan pribadi, entah pengorbanan politik dalam memenangkan pasangan tertentu, sama sekali tidak mengubah prinsip public goods. (Olson, 1967). Konsep ini mau menerangkan bagaimana menempatkan diri dalam pergulatan politik yang stabilitasnya dinamis. Kita perlu menerima kenyataan dinamis tersebut dalam setiap pergulatan politik yang sungguh luar biasa baiknya.
Tercatat, bahwa orang yang memilih atau tidak memilih dalam Pemilu atau Pilkada berlangsung tetap memiliki pemimpin politiknya. Logika sistematis ini menerangkan sesungguhnya bahwa pemilih yang rasional terkadang bersifat kontradiktif dengan realitas yang terjadi. Tendensi rasionalitas yang tinggi mengakibatkan lahirnya asumsi rasional yang mengungkapkan bahwa dari pada capai-capai ikut memilih, toh sementara mereka yang tidak memilih tetap memiliki pemimpinnya. Secara logika, argumentasi pemilih rasional tersebut baik dan benar adanya. Lalu, yang menjadi perdebatan di sini adalah menohok partisipasi politik kita sebagai subjek demokrasi. Kalau memang semua konsep pemikiran kita selalu berbasis logika argumentatif, maka tidak mungkin tidak, demokrasi akan luntur oleh kaum rasional.
Apa sebetulnya efek kehadiran salah seorang calon kepala daerah di wilayah kita?. Entah disadari atau tidak, saya malah pesimis dengan konsistensi dan resistensi diri para pemilih rasional. Sebuah asumsi personal saya, bahwa mayoritas kita orang NTT, Manggarai khususnya secara psikologis menjunjung tinggi prinsip emosional dari pada rasional. Ini kenyataan kita orang timur. Hal ini pulalah yang membedakan kita dengan gaya pemikiran orang barat. Kembali pada prinsip psikologis orang Timur, bahwa rasa simpatik tidaklah cukup, malah empatiknya lahir di tengah kondisi realitas yang tersingkirkan.
Kehadiran salah satu calon ke kampung atau wilayah kita secara sepintas saya melihat bahwa ada sebagian orang akan berubah pikiran dalam menentukan pilihannya, bukan karena mendengar visi dan misi seorang calon, tetapi karena faktor emosional. Benar atau tidak, saya yakin prinsip pemilih rasional pada akhirnya dikuburkan oleh pemilih psikologis. Pemilih psikologis yang saya uraikan di sini bukan terletak pada faktor ketertarikan emosional dengan partai politik, tetapi bagaimana pemilih dalam memilih pemimpin politik karena faktor belas kasihan.
Sementara secara teoritis, model pemilih psikologis ditandai dengan tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilu, Pilpres, dan Pilkada bukan karena faktor ekonomi seorang calon yang baik dan mapan, tetapi karena benar-benar tertarik dengan politik, memiliki perasaan dekat dengan partai tertentu (identitas partai), memiliki informasi yang kuat dan cukup untuk menentukan pilihan, serta meyakini bahwa pilihannya dapat mengubah dan memperbaiki keadaan suatu negara. (Kuasa Rakyat; 2012).
Terlepas dari model ini, saya meyakinkan bahwa model pemilih psikologis juga dipengaruhi karena merasa belas kasihan dengan pasangan tertentu (faktor penolakan sosial). Sadar atau tidak, secara emosional masyarakat kita akan berubah pilihan. Hal itu baik, dan secara undang-undang legal. Di mana seseorang memilih berasas bebas, jujur, dan adil. Asas demokrasi ini sesungguhnya merentangkan tali distingsih antara pemilih yang satu dengan pemilih yang lain. Artinya, banyak pemilih karena faktor sosiologisnya dan pula karena faktor psikologis.
Dengan demikian, saya mau katakan bahwa memilihlah di antara pilihan. Jangan memilih karena ada tendensi kekuasaan, tetapi memilihlah karena ada faktor tertentu yang membuat kita memilih dengan bebas. Memilihlah para pemimpin politik bukan karena faktor ekonomi calon yang bisa menjanjikan kesejahteraan kalian, tetapi memiliihlah karena kondisi publik yang membutuhkan kebijakan-kebijakan yang mapan. (*)
CATATAN REDAKSI: apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada redaksi kami EMAIL.
Sebagaimana diatur dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.