close menu

Masuk


Tutup x

Literasi Digital: Quo Vadis?

literasi
Chen Kurniadi (Foto: Ist.)

Penulis: | Editor:

Oleh: Chen Kurniadi

(Pemerhati Pendidikan)


Ketika revolusi industri di Inggris mulai mengambil alih sekitar akhir abad ke-18, salah satu negara besar di Eropa ini mendadak chaos akibat peralihan tersebut. Tenaga hewan dan manusia yang lama menjadi tradisi diganti dengan tenaga mesin berbasis manufacture.  Banyak orang menjadi takut karena pekerjaan mereka diganti dengan teknologi baru yang mulai menjentik. Tidak heran, para buruh pun menjadi anarkistis dan mulai menghancurkan mesin-mesin tak bernyawa tersebut yang telah menyingkirkan budaya kerja dan kebiasaan mereka.

Edwin Saleh

Penemuan baru cara kerja manusia memang di satu sisi merugikan manusia karena dia pasti merasa disisihkan dan tersingkir oleh teknologi yang cara kerjanya jauh lebih cepat dan tak rawan salah. Siapa yang tidak takut ketika sudah menekuni suatu pekerjaan separuh hidupnya kemudian diganti dengan alat cerdas yang namanya “mesin”?

Rekonsiliasi Teknophobia   

Iklan

Kata “teknofobia” secara etimologis adalah dua kata Yunani: τέχνη (“Tekhne” yang berarti teknologi) dan φόβος (“Phobos” yang berarti takut). Teknofobia adalah ketakutan atau ketidaksukaan terhadap teknologi serta segala perkembangannya.

Wajar saja jika banyak manusia yang tidak rela meninggalkan comfort zone-nya bahkan menjadi takut dengan teknologi. Ketika wabah corona merajalela suka tidak suka manusia mulai pusing dan berpikir mengenai cara kerja jarak jauh supaya tidak ketinggalan baik secara ekonomi, pendidikan, pariwisata, sosial budaya, bahkan politik. Teknologi pun dikejar. Manusia membuntuti alur kerja teknologi untuk tetap bertahan untuk meningkatkan taraf. Friedrich Engels dan Louis Auguste Blanqui pimpinan tekstil dan “tokoh peralihan” revolusi industri Inggris ternyata tidak perlu disalahkan dan didemo saat cara kerja tradisional harus direvolusi. Seluruh aspek kehidupan masa kini pun ternyata telah mewajibkan manusia untuk segera berselancar dengan tuntutan teknologi yang kian edan dari masa ke masa.  

Digitalisasi Pembelajaran

Salah satu bentuk revolusi dalam bidang pendidikan adalah digitalisasi pembelajaran yang mewajibkan para guru, peserta didik, stakeholder pendidikan, dan masyarakat umumnya untuk bersahabat dengan model pembelajaran ini. Hemat saya, bang menteri Nadiem Makarim telah ditempatkan pada waktu dan tempat yang benar (a right man on the right time and place). Tak terbayangkan jika pemangku kebijakan “salah orang” pada saat-saat kritis pandemi COVID-19; (hendak) kemanakah arah (quo vadis) pendidikan kita? Proses pembelajaran wajib tetap dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan kognitif, afektif dan psikomotorik peserta didik. Masyarakat mendadak kalang kabut karena belum siap menghadapi situasi dan system instruksional tersebut. Lambat laun, lembaga-lembaga pendidikan menjadi lebih kreatif menggunakan teknologi.  

Literasi digital harus sudah menjadi bagian penting dalam aktivitas pembelajaran kita masa kini. Hal ini tidak boleh bersifat kategorial ataupun teritorial; yang dimaksud adalah digitalisasi harus sudah diperkenalkan kepada peserta didik dari tingkatan paling bawah sampai PT dan diaplikasikan di semua daerah di Indonesia. Pemerintah wajib memfasilitasi  untuk mengisi gap dan ga-gap teknologi yang dialami di daerah-daerah tertentu di Indonesia.

Pembelajaran Tatap Muka (PTM) yang sekarang sudah kembali dilaksanakan, tidak berarti akan menghilangkan budaya digital yang sudah dilakukan selama masa pandemi berlangsung. Apakah kita harus mundur? Blended learning atau Hybrid sekurang-kurangnya digunakan dalam proses instruksional zaman now. Guru semestinya tidak lagi menjadi penceramah tetapi menjadi fasilitaor pembelajaran. Digitalisasi pembelajaran akan mempermudah akses ilmu pengetahuan dan informasi; jangan sampai terlampau ketinggalan.        

Adanya penemuan baru seperti digitalisasi di bidang teknologi dan pendidikan dapat mempermudah cara kerja dan mampu meningkatkan hasil produksi, termasuk output dan outcome pendididikan.  Kemakmuran Inggris diyakini bukan hanya karena revolusi industri tetapi kemapanan berpikir masyarakatnya untuk berevolusi telah mendukung untuk membuka industri yang lebih banyak pada masa yang akan datang. (*)    

Follow Berita FajarNTT.com di Google News

Dapatkan update breaking news dan berita pilihan kami dengan mengikuti FajarNTT.com WhatsApp Channel di ponsel kamu

CATATAN REDAKSI: apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada redaksi kami EMAIL.
Sebagaimana diatur dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Konten

Komentar

You must be logged in to post a comment.

Terkini Lain

Konten