
Penulis: Tim | Editor: Redaksi
RUTENG, FAJARNTT.COM – Ratusan warga Gendang Pitak, Kelurahan Pitak, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, menyaksikan Roko Molas Poco, ritual adat yang merupakan bagian dari pembangunan Mbaru Gendang, Kamis (31/7/2025). Mbaru Gendang sendiri merupakan rumah adat yang menjadi simbol persatuan, spiritualitas, dan identitas masyarakat Manggarai.
Ritual ini dihadiri langsung oleh Bupati Manggarai Herybertus G.L. Nabit, S.E., M.A., Kapolres Manggarai AKBP Hendri Syaputra, S.I.K., serta sejumlah pimpinan OPD lingkup Pemerintah Kabupaten Manggarai.
Roko Molas Poco adalah prosesi penjemputan siri bongkok, tiang utama Mbaru Gendang, dari hutan (poco/puar). Kayu ini disimbolkan sebagai molas atau gadis cantik yang dihormati, diarak secara sakral menuju kampung. Dalam tradisi Manggarai, hutan disebut Anak Rona, sedangkan kampung disebut Anak Wina, yang keduanya terikat dalam hubungan persaudaraan yang harus dijaga. Go’et adat mengingatkan:
“Neka poka puar, neka pande ngosak osang. Hiang poco, boto mamur mose.”
(Jangan rusak hutan, jangan sembarangan menebang. Hutan adalah kehidupan.)

Bupati Nabit menyampaikan apresiasi atas ritual ini sebagai pengingat akar budaya dan nilai-nilai kehidupan masyarakat Manggarai.
“Roko Molas Poco bukan sekadar simbol atau seremoni budaya. Ini pengingat kuat bahwa kita berasal dari tanah, hutan, dan relasi harmonis dengan leluhur,” ujar Bupati Nabit.
Ia menekankan pembangunan modern tidak boleh melupakan tradisi. Menurutnya, Mbaru Gendang bukan hanya bangunan fisik, tetapi pusat nilai kehidupan.
“Kita boleh membangun sekolah, rumah sakit, jalan, dan jembatan. Tapi jika lupa membangun roh masyarakat seperti nilai-nilai adat, kearifan lokal, dan identitas budaya maka kita hanya membangun tubuh tanpa jiwa,” tambahnya.
Bupati Nabit juga menyoroti nilai ekologis dari tradisi ini, di mana kayu tidak ditebang sembarangan dan selalu disertai doa dan upacara penghormatan. Ia mengajak generasi muda untuk aktif melestarikan budaya lokal dan memahami makna setiap ritus, bukan sekadar menontonnya.
“Selama kita mengarak molas dari poco dengan hormat, Manggarai belum kehilangan rohnya,” pungkasnya.(*)