Penulis: Tim | Editor:
Oleh : Bernardus Tube Beding
( Pegiat Literasi dan Dosen PBSI Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng )
Tanggal 9 Desember 2020 mendatang, masyarakat di 270 daerah di Indonesia, yakni 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota akan mengadahkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak. Tentu, menjelang pesta demokrasi tersebut, suhu politik semakin bertambah panas, baik secara langsung maupun secara tidak langsung antar pendukung masing-masing pasangan calon (Paslon). Suhu politik demikian menantang urgenitas peran pers. Pers sebagai salah satu pilar demokrasi dituntut untuk menciptakan kondisi publik yang well-informed, yaitu menampilkan diri sebagai penegak norma-norma dasar demokrasi, keadilan, dan kebenaran demi kemajuan martabat demokrasi negara Indonesia.
Keberadaan pers bukan sekadar menyebarkan electorate information tentang prosedural teknis proses memberikan suara Pilkada ketika berada dalam bilik suara. Lebih dari itu, keberadaan pers sebagai wadah voters education, pendidikan bagi pemilih lewat pemberitaan-pemberitaan, khususnya relevansi pilkada bagi kepentingan masyarakat daerah pemilih sehingga mereka memperoleh informasi yang memadai hingga pada akhirnya dapat menentukan pilihan yang tepat.
Demi menyukseskan hal tersebut, pers dan komponen-komponen manusianya harus memiliki daya kritis agar tidak sampai terjebak dalam permainan para calon dengan membangun opini publik lewat aksi yang dikemas secara rapi dan halus seakan-akan bukan merupakan bentuk aksi kampanye. Kehadiran pers di tengah pesta demokrasi seperti Pilkada serentak tahun ini semestinya seperti watch dog (anjing penjaga, red) yang menajamkan kukunya, tidak saja menggonggong apabila melihat adanya pencuri, perusak, dan pelanggar, melainkan juga jika perlu menggigit manakala gonggongannya tidak dihiraukan atau dianggap angin lalu.
Persoalan sering terjadi ketika harapan tersebut berbenturan dengan realitas praksis (praktik bidang kehidupan dan kegiatan praktis manusia, red). Pers terlibat aktif dalam percaturan politik yang dimainkan oleh para politisi, meski mungkin ini jarang disadari oleh para pekerja pers sendiri. Misalnya, pers bisa saja secara sewenang-wenang menggunakan kekuatannya hanya untuk mendukung para politisi yang bersekongkol dengannya sambil mengorbankan pihak lain, seperti masyarakat yang tidak mendukung dan tidak sejalan dengannya. Bahkan, pers rela menjadi alat pemuas bisnis-bisnis raksasa, bahkan membiarkan pemasang iklan (tim pemenang Paslon) mengontrol isi redaksional sekaligus kebijakan redaksionalnya.
Hemat saya, keberpihakan pers terhadap calon-calon kepala daerah tertentu hanya akan merusak demokrasi yang sedang dibangun, sekaligus menjatuhkan martabat pers itu sendiri. Idealnya, pers ditempatkan sebagai penyangga demokrasi. Jika pers berpihak dalam proses politik pilkada, justru akan merusak hakikat demokrasi dan bisa mencoreng nama baiknya di tengah publik. Keberpihakan pers dalam politik praktis Pilkada akan mengganggu bahkan berakibat pada penghambatan aspirasi masyarakat.
Karena itu, di tengah hiruk-pikuk persiapan Pilkada serentak 2020 ini, independensi pers menjadi hal penting dan urgen. Independensi dalam konteks ini bukan berarti bahwa pers sama sekali tidak punya keberpihakan. Independensi pers lebih mengarah pada keberpihakan pers pada nilai-nilai kebenaran dan kebijakan publik. Independensi pers menjadikan keberadaannya sangat dan secara optimal mengawal proses Pilkada, memberi informasi yang benar kepada publik tentang hal-hal penting seputar Pilkada, agar publik bisa memperoleh informasi yang berimbang, tepat, dan akurat. (*)
CATATAN REDAKSI: apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada redaksi kami EMAIL.
Sebagaimana diatur dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.