Penulis: Agnes Putri Sentosa | Editor: Vinsensius Kurniadi
Menelisik catatan prihatin yang ditoreh bangsa Indonesia dalam hal literasi-numerasi yang tentunya sangat menggelitik seantero pertiwi bukanlah suatu yang mudah diterima begitu saja. Bayangkan, survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia menempati peringkat ke 62 dari 70 negara, atau merupakan 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah. Catatan ini pasti saja selalu terngiang yang membutuhkan kerja ekstra bagi semua lapisan masyarakat untuk mengubah-dogkrak catatan ini.
Budaya: Bertanggung Jawab?
Budaya adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang dan diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan pendidikan pun merupakan bagian penting dari produk budaya. Dalam kaitannya dengan literasi-numerasi, budaya sangatlah bertanggung jawab dengan seluruh keberlangsungannya karena budaya adalah warisan yang muaranya akan memengaruhi peradaban. Jika membaca adalah sebuah budaya, hadiah buku buku adalah warisan dari sono, pastilah riwayat itu hingga kini tertanam.
Literasi-numerasi adalah rangsangan yang akan menuntun seseorang pada sebuah kecerdasan berpikir, bertutur, dan bertindak. Namun, budaya kemalasan berliterasi khusunya membaca cukup mendarah daging untuk orang Indonesia. Manusia Indonesia cenderung hingar dan hiruk pikuk dengan cerita-cerita tak bermakna, permainan/game yang menyita waktu yang tak terukur, menguras energi untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, berselancar di dunia maya tanpa mengenal ruang dan waktu. Budaya: Bertanggung Jawab.
Faktor Ekonomi sebagai Pendukung Literasi
Finlandia, Belanda, Swedia, Australia, dan Jepang adalah beberapa negara maju yang secara ekonomi dianggap mapan dan telah menjadi contoh negara dengan tingkat literasi paling tinggi di dunia. Secara kasat mata, terbesit kesimpulan bahwa ketika ekonomi suatu negara dianggap stabil untuk menopang sosial dan pendidikan, maka dengan sendirinya mental dan kesadaran masyarakat akan literasi-numerasi menjadi dua hal yang tak terpisahkan. Negara-negara ini juga merupakan representasi dari sistem pendidikan yang cukup mumpuni dan layak menjadi contoh untuk belahan lain dalam lingkup pendidikan. Alih-alih menggunakan gawai seperti masyarakat Indonesia pada umumnya adalah suatu keprihatinan tersendiri, sementara negara-negara di atas justru lebih memilih untuk membaca buku, berselancar dengan majalah, atau surat kabar.
Sebaliknya, ketika Nigeria, Sudan, Irak, Afganistan, dan beberapa negara di daratan Afrika dan Asia, termasuk Indonesia menjadi contoh keprihatinan karena tingkat literasinya yang rendah, kecenderungan untuk membandingkan antara ekonomi dan literasi sepertinya sejalan. Apakah karena skala prioritas dan semata-mata peradaban yang membuat maju tidaknya suatu negara termasuk literasi?
Kegiatan membaca sebagai budaya di Finlandia dengan menyediakan 738 perpustakaan tersebar di seluruh Finlandia kecil; buku adalah hadiah bagi orang Swedia; pemerintah Belanda menghadiahi para bayi baru lahir dan orang tuanya dengan seperangkat buku bacaan; sementara di negara-negara miskin bersiteru dengan kekurangan makanan, bergelut dengan stunting, dan berperang melawan kesehatan. Pendidikan dan literasi bisa saja tidak pernah terlintas sebagai suatu kebutuhan.
Rekonsiliasi Budaya, Ekonomi dan Literasi
Ketiga hal di atas sangat erat hubungannya dan telah menjadi potret buram perjalanan sejarah pendidikan di Indonesia yang kerap melatih peserta didik dengan budaya “piliha ganda” yang cenderung ‘lolos’ karena keberuntungan bukan karena suguhan riil C5-C6 dalam taksonomi.
Pengetahuan merupakan modal dasar bagi manusia dalam memecahkan masalah dalam segala bidang kehidupan. Kecerdasan akan menjadi suatu anugerah yang menuntun manusia keluar dari kerangkeng kemiskinan berpikir, ketersesatan tingkah laku, dan keluhan kebodohan. Literasi-numerasi adalah salah satu koridor terbaik untuk dilewati menuju ujung lorong benderang yakni menjadi pribadi-pribadi yang cerdas, menjadi pelaku budaya perubahan yang bermuara pada kesejahteraan (ekonomi). (*)
*)Penulis Guru di SMA Swasta Katolik St. Fransiskus Saverius
CATATAN REDAKSI: apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada redaksi kami EMAIL.
Sebagaimana diatur dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.