Penulis: Yustina Jessica Nurleny | Editor: Yustina Jessica Nurleny
Budaya Childfree menjadi topik hangat pembahasan dikalangan anak muda yang ingin menikah ataupun yang baru saja menikah. Childfree itu sendiri merupakan sebuah keputusan atau pilihan hidup untuk tidak memiliki anak, baik itu anak kandung, anak tiri ataupun anak angkat. Childfree di Indonesia masih belum bisa diterima sebagian besar masyarakat hingga menimbulkan pro dan kontra. Masyarakat menganggap childfree ini masih tabu, karena secara sosial status dan eksistensi perempuan dilihat dari seberapa banyak dia bisa melahirkan anak. Banyaknya pro dan kontra di masyarakat tentang childfree mempunyai sudut pandangnya masing-masing. Beberapa pandangan masyarakat Indonesia kenapa mau mempunyai anak.
Melanjutkan Keturunan
Memiliki keturunan merupakan salah satu hal yang diinginkan setiap keluarga dan juga menandakan eksistensi manusia sebagai makhluk hidup. Seorang anak memiliki arti penting dalam keluarga, karena perkawinan memiliki suatu tujuan untuk kebahagiaan dan kesejahteraaan serta meneruskan keturunan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Hadirnya Seorang Anak
Salah satu tujuan dari pernikahan yaitu mempunyai anak, karena pandangan suatu pernikahan yang lengkap kalau sudah mempunyai anak, maka tidak heran pasangan yang baru menikah sangat ingin mempunyai anak. Selain karena pernikahan, orang tua juga menginginkan anak untuk mewujudkan cita-cita dan harapan yang belum tercapai serta menjadi pewaris harta kekayaan ketika orang tua meninggal dunia.
Status Sosial
Mempunyai anak juga bisa meningkatkan status sosial. Anak yang berhasil dan sukses secara otomatis orang tua lebih dihormati di kalangan masyarakat.
Sehat Jasmani dan Rohani
Mempunyai anak juga bisa membuktikan bahwa pasangan tersebut sehat secara fisik (tidak mandul).
Jaminan Masa Tua
Mempunyai anak juga dapat berguna sampai tua. Saat orang tua sudah mulai menginjak usia lanjut dengan kondisi kesehatan melemah serta daya ingat menurun, tibalah saatnya bagi anak-anak untuk merawat orang tua dan memberi perhatian lebih.
Perspektif
Kemudian, sebagian orang juga memiliki pandangan terhadap pasangan yang tidak ingin memiliki anak atau childfree.
Latar belakang keluarga
Latar belakang keluarga pun dapat mempengaruhi keputusan seseorang untuk childfree, yaitu ketika seseorang memiliki keluarga yang memberikan kebebasan padanya untuk memilih dan memutuskan segala hal. Ia pun tumbuh dan melihat apa yang terjadi di dalam keluarganya, sehingga apa yang ia lihat semasa kecil pun akan mempengaruhi pilihannya ketika ia dewasa. Begitu pula tentang kenangan yang buruk serta perasaan kecewa yang didapatkan selama masa anak-anak. Perasaan dan kenangan tersebut pun bisa menjadi alasan terbesar, kenapa pasangan atau seorang perempuan memilih untuk childfree.
Isu lingkungan
Isu lingkungan juga menjadi penyebab childfree seperti over populasi. Populasi manusia yang semakin banyak di dunia akan menjadi tidak sebanding sehingga berdampak pada pengrusakan lingkungan serta ketersediaan pangan. Sebagian individu, baik yang telah berpasangan atau yang masih single menyadari isu tersebut. Sehingga mereka merasa prihatin dengan isu itu dan memilih untuk childfree.
Finansial
Kondisi finansial menjadi salah satu faktor seseorang memutuskan untuk childfree. Membesarkan serta merawat anak membutuhkan persiapan mental serta finansial yang matang. Ketika pasangan telah memutuskan untuk childfree, kemungkinan mereka telah memperhitungkan kemampuan finansial untuk membiayai segala kebutuhan anak.
Kekhawatiran
Mereka yang tidak mampu membesarkan anak dengan baik menyebabkan seseorang atau pasangan memutuskan untuk childfree. Mereka merasa belum matang dan belum siap secara mental untuk memiliki seorang anak. Selain itu, beberapa orang yang memiliki masalah mental, kemungkinan akan lebih khawatir dan berpikir bahwa mereka tidak cukup mampu untuk membesarkan anak.
Memiliki Masalah Maternal Instinct
Maternal instinct adalah kondisi di mana kemampuan emosional dari seorang perempuan, khususnya seorang ibu dalam menentukan hal-hal yang benar serta salah ketika ia membesarkan seorang anak. Sebagian orang mungkin memiliki anggapan, bahwa maternal instinct memiliki peran yang penting untuk dimiliki oleh seorang perempuan atau lebih tepatnya seorang ibu. Alasannya karena maternal instinct ini memiliki kaitan dengan kemampuan seorang ibu untuk melindungi anak-anaknya. Beberapa dari perempuan merasa khawatir, bahwa mereka tidak memiliki atau mengalami masalah dengan maternal instinct.
Kondisi Fisik
Beberapa pasangan mungkin memiliki kondisi fisik tertentu yang membuat dirinya tidak bisa atau tidak mampu memiliki seorang anak. Contohnya seperti mengidap penyakit keturunan dan lain sebagainya. Kondisi tersebut kemudian menjadi alasan terbesar seorang individu maupun pasangan memilih untuk childfree.
Alasan Personal
Alasan terakhir adalah karena alasan personal dari seseorang atau pasangan. Tidak ada alasan khusus, hanya saja mereka memilih untuk childfree, karena merasa nyaman dengan kondisi tersebut.
Gaya Hidup
Sejak beberapa dekade terakhir ini istilah childfree (CF) semakin akrab di kalangan generasi muda. Penganut gaya hidup CF bahkan semakin meningkat di Amerika dan Eropa bahkan sampai masuk ke Indonesia. Beberapa riset bahkan menunjukkan peningkatan yang signifikan.
CF merujuk pada gaya hidup yang memilih menikah (atau berkumpul bersama) tetapi tanpa memiliki anak. Intinya adalah ketidakmauan, bukan ketidakmampuan. Penganut CF memilih untuk tidak memiliki anak. Mereka meyakini bahwa opsi ini merupakan hak dan kebebasan setiap orang. Alasan dibalik pilihan ini sangat beragam. Beberapa terkesan narsistik (ingin hidup nyaman tanpa direpotkan oleh urusan pengasuhan anak). Ada yang mempertimbangkan kelestarian bumi (penduduk bumi sudah terlalu banyak). Ada juga yang mengkhawatirkan pertumbuhan anak (dunia semakin jahat dan tidak aman). Beberapa ingin melayani proyek-proyek kemanusiaan secara lebih fokus dan bebas. Isu ini sebenarnya rumit, ada beragam aspek yang terkait serta beragam poin yang perlu dipertimbangkan.
Narsistik
Sebagian penentang CF langsung menyalahkan gaya hidup ini dengan alasan gaya hidup ini terlalu narsistik. Bagaimanapun, penilaian ini bisa terlalu subjektif. Mereka yang memiliki anak kadangkala juga dimotivasi oleh tujuan yang narsistik, misalnya supaya ada yang merawat mereka di masa tua. Sebaliknya, tidak semua penganut CF dimotivasi oleh alasan yang egosentris. Beberapa bahkan menganut gaya hidup ini justru untuk menjaga kelestarian alam dan supaya bisa berkontribusi maksimal bagi kemanusiaan.
Kebahagiaan Hidup
Sebagian penentang CF biasanya memuliakan status sebagai seorang ibu dan bapak serta kebahagiaan memiliki anak sebagai alasan untuk menyalahkan CF. Mereka menganggap penganut gaya hidup CF kurang berbahagia. Alasan seperti ini terlihat kurang meyakinkan. Penganut CF merasa bahagia dengan pilihan mereka. Jika anak dijadikan sumber kebahagiaan, bukankah itu menyiratkan semangat narsistik dalam diri orang tua?.
Moralitas
Para penganut CF menganggap tidak ada yang salah dengan gaya hidup ini. Apa yang dilakukan dinilai tidak merugikan siapapun. Bukankah setiap orang bebas menentukan hidupnya sendiri selama dia tidak merugikan atau membahayakan orang lain.
Childfree, Agama, dan Budaya
Dari tiga poin di atas terlihat bahwa isu ini memang pelik. Otonomi moral sudah menjadi persoalan sejak zaman Adam dan Hawa (Kej. 3). Jatuhnya manusia ke dalam dosa berhubungan dengan otonomi moral yang ditawarkan oleh Iblis (manusia menjadi seperti Allah yang membedakan apa yang baik dari apa yang jahat). Sejak saat itu manusia menjadi penentu moralitas, bahkan membanggakan pelanggaran mereka (Kej. 4:23-24). Bagi orang-orang Kristen, standar moralitas adalah firman Allah. Firman Allah adalah kebenaran (Yoh. 17:17). Di dalam terang Tuhan kita menemukan terang yang sesungguhnya (Mzm. 36:10). Kitab suci adalah penuntun kehidupan dan keselamatan (2Tim. 3:15-16). Perinsip moral “yang penting tidak merugikan orang lain” kurang sesuai dengan logika empiris dan ajaran Alkitab. Tidak cukup bagi manusia hanya untuk tidak merugikan orang lain. Apa yang boleh dilakukan bisa menjadi tidak boleh dilakukan jika tindakan itu tidak membawa manfaat positif bagi orang lain maupun jika memperbudak diri sendiri (1Kor. 6:12; 10:23). Persoalannya, jika gaya hidup ini dipraktekkan oleh semakin banyak orang, kelangsungan hidup manusia justru akan dipertaruhkan. Roda ekonomi lambat laun akan berhenti. Tenaga kerja potensial tidak ada lagi. Generasi tua akan menderita karena tidak ada yang melayani mereka. Dampak-dampak ekonomis dan sosial lain juga akan bermunculan. Jika diteruskan, kelangsungan populasi manusia akan terancam. Apa yang dipikirkan sebagai motivasi positif (menjaga kelestarian bumi yang sudah padat) akan berubah menjadi dampak negatif. Mereka menganggap kehadiran anak sebagai sebuah hal yang negatif, entah itu sebagai ancaman bagi kebahagiaan diri sendiri atau kelestarian alam. Alkitab menyediakan perspektif yang berbeda. Anak-anak adalah karunia yang indah dari Allah (Mzm. 127:3). Bisa memiliki keturunan merupakan salah satu berkat TUHAN (Kej. 1:28). Pernikahan merupakan sarana untuk menghasilkan keturunan-keturunan ilahi (Mal. 2:15). Pendeknya, memiliki anak merupakan hal yang baik dari Tuhan.
Di kabupaten Manggarai yang terletak di provinsi Nusa Tenggara Timur, dikenal dengan adat istiadatnya yang sangat kental. Salah satu yang masih melekat dalam kehidupan masyarakatnya adalah ritual teing tinu. Ritual ini dilakukan oleh seorang anak kepada orang tua sebagai ungkapan rasa syukur dan terima karena sudah membesarkannya.
Zaman dahulu, orang-orang di Manggarai menikah di usia muda dan mempunyai anak yang terbilang banyak, bahkan jika perempuan tidak bisa memberikan keturunan maka laki-laki akan menikah lagi. Ada juga yang walaupun perempuan bisa memberikan keturunan, laki-laki tetap menikah lagi untuk memperbanyak keturunan. Hal ini disebabkan oleh kepercayaan masyarakat pada zaman dahulu yang beranggapan bahwa memiliki banyak keturunan (anak) akan memberi banyak rejeki, jadi tidak heran lagi jika orang-orang kala itu mempunyai istri lebih dari satu dan anak yang banyak anak yang banyak. Kebiasaan mempunyai anak bagi masyarakat Manggarai terbawa sampai sekarang di mana setiap orang yang sudah menikah harus mempunyai anak dan kebanyakan lebih dari tiga. Jadi dapat disimpulkan masyarakat Manggarai tidak tertarik untuk childfree.
Childfree merupakan pilihan setiap orang. Setiap pasangan tentu melalui pertimbangan yang matang sebelum memutuskan apakah ingin memiliki anak atau tidak sama sekali. Selain itu, mempertimbangkan juga pendapat masyarakat, bahwasannya childfree masih tabu.
Saya tidak menginginkan childfree juga tidak menyalahkan dan menyudutkan pasangan childfree, karena itu terkait hak asasi manusia. Harapannya sebagai masyarakat Manggarai dan juga sebagai umat katolik, agar tidak tertarik dengan childfree karena tidak sesuai dengan ajaran agama dan adat istiadat Manggarai. (*)
CATATAN REDAKSI: apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada redaksi kami EMAIL.
Sebagaimana diatur dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.