close menu

Masuk


Tutup x

PMKRI Ruteng Gandeng Dinas PPPA Manggarai, Gencarkan Edukasi Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Rahong Utara

Penulis: | Editor: Redaksi

FAJARNTT.COM – Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ruteng Santo Agustinus mempertegas perannya di bidang advokasi sosial dengan menggandeng Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kabupaten Manggarai untuk menggelar sosialisasi pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak.

Kegiatan yang berlangsung di SDI Lenteng, Desa Compang Dari, Kecamatan Rahong Utara ini dihadiri puluhan peserta yang terdiri dari guru, siswa, tokoh masyarakat, perangkat desa, serta organisasi pemuda.

Empat narasumber tampil memberikan perspektif dan solusi: Kepala SDI Lenteng Gaspar De, S.Pd; Kepala Dinas PPPA Kabupaten Manggarai Maria Yasinta Aso, SST; Project Manager Yayasan Gembala Baik Indonesia Karya Sosial Weta Gerak Matildis Jana, SH; dan Ketua Presidium PMKRI Cabang Ruteng Santo Agustinus Margareta Kartika.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kabupaten Manggarai, Maria Yasinta Aso, memulai paparannya dengan menyoroti fenomena yang menurutnya menjadi salah satu akar persoalan kekerasan di Manggarai, yaitu budaya diam.

“Kekerasan terhadap perempuan dan anak di Manggarai ini seperti fenomena gunung es. Yang terlihat hanya sedikit di permukaan, padahal di bawahnya jauh lebih besar. Banyak korban memilih diam, bahkan keluarganya pun ikut membungkam. Alasannya beragam, mulai dari rasa malu, takut dibicarakan orang, hingga tekanan dari pelaku yang sering kali adalah orang dekat,”ujarnya.

Maria mengungkapkan bahwa dalam catatan Dinas PPPA, dari kasus-kasus yang berhasil terlaporkan, sebagian besar pelaku justru berasal dari lingkungan terdekat korban, seperti keluarga, tetangga, atau orang yang sudah dikenal baik. Kondisi ini membuat korban semakin sulit untuk bersuara.

“Ketika pelaku adalah orang yang kita kenal atau bahkan anggota keluarga, tekanan mental korban berlipat ganda. Ia tidak hanya takut pada pelaku, tapi juga takut kehilangan dukungan dari keluarga besar atau merasa akan disalahkan. Di sinilah masyarakat harus belajar untuk berdiri di sisi korban, bukan malah melindungi pelaku,” tegasnya.

Ia juga menggarisbawahi bahwa perlindungan terhadap perempuan dan anak bukan hanya tugas pemerintah.

“Keluarga adalah benteng pertama. Orang tua harus mengajarkan anak mengenali hak-haknya dan memahami batasan tubuh mereka sendiri. Sekolah menjadi benteng kedua yang mengawasi perilaku dan perubahan sikap anak setiap hari. Masyarakat adalah benteng ketiga yang memastikan lingkungan aman dan tidak mentoleransi kekerasan dalam bentuk apa pun,” jelasnya.

Maria mencontohkan, banyak kasus yang gagal diproses hukum karena bukti hilang akibat korban terlalu lama menyimpan cerita.

“Di Dinas PPPA, kami siap menerima laporan kapan saja. Kami memiliki layanan pendampingan yang mencakup psikolog, konselor, medis, hingga bantuan hukum. Pelaporan itu penting bukan hanya untuk menindak pelaku, tetapi juga untuk menyelamatkan korban dari trauma berkepanjangan,” tambahnya.

Menurutnya, keberanian korban untuk melapor sangat bergantung pada respons lingkungan sekitar, apabila korban justru dihakimi atau diragukan, maka ia akan memilih menutup diri.

“Mari hentikan budaya menyalahkan korban. Anak atau perempuan yang menjadi korban kekerasan tidak bersalah. Jangan tanya ‘kenapa dia di sana?’ atau ‘kenapa dia pakai baju itu?’. Pertanyaannya harus kita alihkan: Kenapa pelaku tega melakukan itu?” katanya.

Maria juga memberikan ajakan konkret kepada peserta sosialisasi.

“Jangan tunggu menjadi korban baru peduli. Jika kita melihat atau mendengar tanda-tanda kekerasan, ambil peran. Laporkan ke pihak berwenang atau dampingi korban ke Dinas PPPA. Kita bisa memutus rantai kekerasan jika semua pihak mau bergerak bersama,” pungkasnya.

Sementara itu, Kepala SDI Lenteng, Gaspar De, menyampaikan bahwa kekerasan terhadap anak sering kali tidak terlihat secara kasat mata.

Banyak anak, katanya, memilih diam dan menutupi peristiwa yang dialaminya.

“Anak-anak punya bahasa diam. Mereka mungkin tidak mau bicara, tapi sikap dan ekspresi mereka berubah. Tugas guru adalah membaca bahasa itu. Kalau anak yang biasanya ceria tiba-tiba pendiam atau sering absen tanpa alasan jelas, kita harus waspada,” ungkapnya.

Gaspar mengaku, sebelum mengikuti sosialisasi ini, banyak guru di sekolahnya hanya fokus pada pencapaian akademik siswa. Namun, kegiatan ini membuka wawasan bahwa keselamatan fisik dan mental siswa jauh lebih penting.

“Kami diajak memahami tanda-tanda kekerasan, mulai dari perubahan perilaku, nilai pelajaran yang menurun, hingga ketakutan berinteraksi. Pengetahuan ini akan kami terapkan setiap hari,” tegasnya.

Ia juga menambahkan komitmen sekolah untuk menciptakan ruang aman bagi anak.

“Kami akan membentuk tim kecil di sekolah untuk menampung keluhan siswa, yang anggotanya terdiri dari guru yang sudah terlatih. Anak-anak harus tahu, sekolah adalah tempat mereka bisa merasa aman,” katanya.

Kesempatan yang sama, Ketua Presidium PMKRI Cabang Ruteng Santo Agustinus, Margareta Kartika, menegaskan bahwa mahasiswa tidak boleh membatasi perannya hanya di lingkungan akademis.

“Kami menolak menjadi generasi yang hanya pintar berdebat di ruang kuliah, tetapi tidak turun tangan di lapangan. Mahasiswa punya tanggung jawab moral untuk ikut membangun masyarakat,” ujarnya lantang.

Margareta menjelaskan, PMKRI memandang isu kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai masalah kemanusiaan yang mendesak.

“Kekerasan ini merampas masa depan korban. Jika anak-anak kita tumbuh dalam ketakutan, bagaimana mereka bisa menjadi generasi yang percaya diri dan produktif? Maka, pencegahan harus dilakukan sekarang, bukan nanti,” tegasnya.

Ia juga mengumumkan rencana PMKRI untuk memperluas kampanye edukasi ini ke wilayah lain di Manggarai.

“Kami akan menggandeng pemerintah desa, tokoh adat, tokoh agama, dan lembaga pendidikan. Semua harus ikut bergerak, karena satu kegiatan sosialisasi tidak cukup untuk menghentikan kekerasan,” tambahnya.

Project Manager Yayasan Gembala Baik Indonesia Karya Sosial Weta Gerak, Matildis Jana, SH, menekankan bahwa pendidikan pencegahan harus dimulai sejak anak-anak masih kecil.

“Kita sering menunda pembicaraan tentang tubuh dan batasan pribadi, karena merasa anak belum mengerti. Padahal, justru sejak usia dini mereka harus tahu bahwa tubuh mereka adalah hak mereka, dan tidak boleh disentuh sembarangan,” ujarnya.

Matildis memberikan contoh konkret teknik edukasi untuk anak.

“Gunakan bahasa sederhana, misalnya, Bagian tubuh yang tertutup baju renang tidak boleh disentuh orang lain. Ini membuat anak mudah mengerti. Ajarkan juga cara berkata ‘tidak’ dengan tegas dan berlari mencari orang dewasa yang dipercaya,” jelasnya.

Ia menegaskan, orang tua dan guru harus menjadi teladan.

“Kita tidak bisa mengharapkan anak berani bicara kalau orang dewasa di sekitarnya justru menyalahkan atau meremehkan laporan mereka. Tugas kita adalah mendengar, percaya, dan melindungi,” tutupnya.

Terpisah, Penjabat Kepala Desa Compang Dari menegaskan bahwa perlindungan terhadap perempuan dan anak tidak hanya tugas lembaga formal, tetapi juga tanggung jawab kolektif seluruh warga.

“Kami ingin menjadikan desa ini zona aman, di mana setiap warga tahu cara mencegah, melapor, dan menindaklanjuti kekerasan. Tidak ada toleransi untuk pelaku, dan tidak ada korban yang dibiarkan berjuang sendirian,” tegasnya.

Ia berjanji pemerintah desa akan mengintegrasikan program perlindungan perempuan dan anak ke dalam agenda pembangunan desa, termasuk dengan membentuk Jejaring Perlindungan Anak yang melibatkan semua unsur masyarakat.(*)

Kedai Momica
Konten

Komentar

You must be logged in to post a comment.