
Penulis: Nurjana | Editor: Redaksi
LABUAN BAJO, FAJARNTT.COM – Aliansi masyarakat adat dari berbagai kampung di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, menggelar aksi besar-besaran di depan Mapolres Manggarai Barat, Selasa (4/11/2025).
Mereka datang dengan pakaian adat, mengibarkan spanduk, dan membawa poster bertuliskan “Bebaskan Gabriel Jahang, Hentikan Kriminalisasi!” Aksi damai ini merupakan bentuk perlawanan masyarakat adat terhadap penegakan hukum yang dinilai tidak adil dan cenderung berpihak kepada kepentingan pemodal dalam sengketa tanah di wilayah Lengkong Rahas, Desa Tanjung Boleng.
Gabriel Jahang, seorang aktivis adat yang dikenal gigih memperjuangkan hak masyarakat atas tanah leluhur, telah dua bulan mendekam di tahanan Polres Manggarai Barat.
Ia dituduh melakukan penyerobotan dan pengancaman terkait konflik agraria di kawasan tersebut. Namun bagi masyarakat adat, Gabriel bukan pelaku kejahatan, melainkan pejuang yang membela hak rakyat di atas tanah warisan leluhur mereka.
Seruan Keadilan dari Halaman Mapolres
Sejak pagi, halaman Mapolres Mabar dipadati massa dari berbagai komunitas adat, seperti Masyarakat Adat Mbehal, Masyarakat Adat Golo Mori, serta jaringan organisasi pendamping, antara lain LSM Insan Lantang Muda (ILMU) dan lembaga advokasi Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) SVD.
Ketua LSM ILMU, Doni Parera, dalam orasinya menegaskan bahwa penahanan terhadap Gabriel Jahang merupakan bentuk nyata dari kriminalisasi terhadap perjuangan masyarakat adat.
“Kami datang ke sini bukan untuk melawan hukum, tetapi untuk menegakkan keadilan yang berlandaskan hati nurani. Jangan jadikan hukum sebagai alat kekuasaan untuk menindas rakyat kecil,” tegas Doni dalam orasinya.
Menurut Doni, masyarakat adat tidak menolak pembangunan dan investasi, namun menolak jika pembangunan itu mengabaikan hak-hak warga asli.
“Kami ingin pembangunan yang berkeadilan, bukan pembangunan yang menggusur sejarah dan leluhur kami,” tambahnya.
Kronologi Kasus: Dari Lahan Adat ke Jeruji Besi
Kasus yang menjerat Gabriel Jahang berawal dari konflik lahan di Lengkong Rahas, Tanjung Boleng, Kecamatan Komodo. Kawasan itu diklaim masyarakat adat Ndehak sebagai tanah warisan leluhur yang memiliki nilai sejarah dan spiritual tinggi. Di sana masih terdapat kuburan tua, sumur batu, serta bekas rumah adat yang menjadi bukti keberadaan mereka sejak generasi awal.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, wilayah itu mulai dilirik oleh pihak luar seiring pesatnya investasi dan proyek pariwisata di kawasan Labuan Bajo. Perselisihan pun muncul ketika sebagian lahan yang diyakini milik adat disebut masuk dalam wilayah investasi baru.
Pada 18 Juni 2025, sekitar 200 warga adat melakukan pembagian lahan secara adat di lokasi tersebut. Kegiatan itu berlangsung damai dan disaksikan aparat pemerintah desa, Babinsa, dan pihak kepolisian. Namun beberapa minggu kemudian, muncul laporan polisi terkait dugaan penyerobotan dan pengancaman, hingga akhirnya Gabriel dipanggil dan ditahan pada pertengahan Juli 2025.
Sejak saat itu, penahanan Gabriel menjadi titik api yang membangkitkan solidaritas masyarakat adat di seluruh Manggarai Barat.
Polres Mabar Janji Evaluasi, Warga Desak Pembebasan
Menyikapi aksi besar tersebut, Wakapolres Manggarai Barat, Kompol Martinus Pake, menerima langsung perwakilan masyarakat untuk berdialog di ruang rapat Polres.
Pertemuan berlangsung tegang namun kondusif. Dalam dialog itu, masyarakat adat menyerahkan surat tuntutan resmi berisi permintaan pembebasan Gabriel Jahang dan penghentian kriminalisasi terhadap pejuang adat.
Kompol Martinus menegaskan, pihak kepolisian menghargai aspirasi masyarakat dan akan menelusuri seluruh laporan secara objektif.
“Kami memahami keresahan masyarakat. Semua laporan akan kami pelajari dengan cermat, termasuk dasar hukum penahanan terhadap saudara Gabriel. Kami pastikan seluruh proses berjalan sesuai prosedur dan akan disampaikan secara transparan,” ujarnya.
Martinus juga berjanji akan menelusuri dugaan intimidasi aparat terhadap warga pasca penahanan Gabriel.
“Jika benar ada penyalahgunaan wewenang, tentu akan kami tindak sesuai aturan,” tegasnya.
Meski demikian, masyarakat adat menilai tanggapan Polres belum menjawab substansi tuntutan. Mereka menegaskan, yang mereka butuhkan bukan sekadar janji evaluasi, tetapi pembebasan segera terhadap Gabriel Jahang.
Dugaan Intimidasi: Ketakutan yang Menyebar di Kampung
Selain menuntut pembebasan, sejumlah warga juga melaporkan adanya intimidasi dari oknum aparat terhadap masyarakat adat yang aktif menyuarakan dukungan untuk Gabriel.
Beberapa warga mengaku didatangi aparat berseragam maupun berpakaian sipil yang menanyakan siapa penggerak aksi dan siapa yang mengorganisir massa.
“Beberapa warga kami didatangi malam hari, ditanya siapa yang memimpin aksi. Ini membuat warga takut,” ungkap seorang tokoh masyarakat Golo Mori.
Bagi masyarakat adat, tindakan semacam ini mencederai rasa aman dan memperkuat dugaan bahwa proses hukum terhadap Gabriel sarat kepentingan.
Masyarakat Adat Siap Jadi Penjamin
Dalam dialog tersebut, masyarakat adat juga menyampaikan kesediaan mereka untuk menjadi penjamin hukum bagi Gabriel Jahang, jika permohonan penangguhan penahanan dikabulkan.
“Kami siap jadi penjamin. Gabriel bukan kriminal, ia hanya membela tanah yang diwariskan leluhurnya,” ujar salah satu tokoh adat Mbehal.
Bagi masyarakat adat, penahanan Gabriel tidak hanya melukai keluarganya, tetapi juga mencederai harga diri komunitas adat.
“Kalau pejuang tanah ditahan, bagaimana nasib kami yang hanya ingin mempertahankan warisan nenek moyang?” tanya mereka.
Perjuangan Belum Berakhir
Menjelang sore, massa aksi akhirnya membubarkan diri dengan tertib setelah melakukan doa bersama di depan Mapolres. Namun, mereka menegaskan bahwa perjuangan belum berakhir.
Ketua LSM ILMU, Doni Parera, menyampaikan bahwa pihaknya bersama lembaga JPIC SVD akan terus mengawal kasus ini hingga mendapat keadilan.
“Kami akan membawa kasus ini ke tingkat nasional. Jika perlu, kami laporkan ke Komnas HAM dan Kementerian ATR/BPN. Ini bukan sekadar soal Gabriel, tetapi soal bagaimana negara memperlakukan masyarakat adat,” tegasnya.
Aliansi Masyarakat Adat Manggarai Barat juga berencana menyusun laporan resmi ke lembaga negara terkait konflik agraria yang kian sering menimpa masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur.
Tanah, Adat, dan Harga Diri
Bagi masyarakat adat Manggarai Barat, tanah bukan sekadar aset ekonomi, tetapi identitas dan roh kebersamaan. Setiap jengkal tanah menyimpan kisah leluhur yang mengikat mereka secara spiritual.
Kasus Gabriel Jahang, bagi banyak warga adat, adalah ujian besar: apakah hukum di negeri ini masih berpihak pada keadilan, atau justru tunduk pada kekuasaan.
Dan pada hari itu, di bawah terik matahari Labuan Bajo, mereka telah menunjukkan satu hal, bahwa perjuangan untuk membela tanah leluhur tidak akan pernah padam.(*)



