Oleh : Alfred Tuname
(Esais)
Salah satu fenomena yang mencuat saat Pilkada adalah tampilnya politisi uzur. Politisi ini mencoba peruntungannya di musim yang membutuhkan pengaruh (influence). Tampillah ia dan mencoba sebagai influencer. “Imbalannya” lumayan.
Di musim Pilkada, politisi seperti ini muncul bagai bangkit dari dormansi. Lama tak berkiprah, tiba-tiba muncul menunjuk tahta, mengasah taring. Lama tak lagi produktif (secara politik), tiba-tiba ia bermimpi soal “trah”. Politisi seperti ini bolehlah kita menyebutnya sebagai politisi “menopause”.
Seorang politisi “menopause’ mungkin saja seorang mantan bupati atau anggota dewan daerah et cetera. Tetapi karena beberapa kali patah dalam lompatan karier politik (:gagal jadi bupati, gagal gubernur/wakil gubernur dan gagal jadi anggota dewan), kharisma dan pengaruhnya pun ikut luntur.
Politisi “menopause” berkali-kali merebut kekuasaan, tetapi gagal. Gagal dan terus gagal. Mungkin saja dana dan “libido” kekuasaanya masih tinggi, tetapi karena abis ide, daya dan pengaruh, ia terjerembab dalam lubang yang sama: gagal lagi.
Juga, kalau kita amati secara saksama, politisi “menopause” sering ikut centil di panggung politik (:Pilkada). Ia ingin mengembalikan kemolekan politiknya dengan mencoba memulung sejarah nostalgis, lalu dipadankan pada pasangan calon junjungannya.
Ia lupa, keriput pamornya telah tampak. Public trust-nya sudah surut. Itu akibat dari banyaknya topeng kepentingan yang pernah ia pakai. Topeng itu dipakai untuk melompat-lompat partai politik, kiblat politik dan kepentingan.
Memang, keterlibatan dalam berpolitik adalah hak warga negara. Akan tetapi, keterlibatan itu harus diukur dalam keadaban politik. Etikanya, politik itu merangkul perbedaan, bukan memperucing perbedaan; politik itu kompetisi, bukan permusuhan. Dengan begitu, kekuasaan yang diperoleh membuat kawan berapreasi, lawan angkat topi. Kekuasaan pun dirayakan demi kebaikan berbagai pihak (kawan-lawan) dan semua lapis masyarakat. Tampaknya, politisi “menopause” kita belum mampu berada dalam posisi itu.
Itulah bedanya ia dengan politisi yang negarawan (statesman). Seorang negarawan biasanya mampu menakar dirinya sendiri. Pertimbangan etika politiknya lebih tinggi. Libido kekuasaannya ia kesampingkan. Negarawan biasanya lebih memikirkan keadaban politik.
Di musim politik, seorang negarawan mengambil posisi “tengah”. Posisi tengah itu adalah posisi politik damai dan beradab. Tidak condong kepada salah satu kubu politik. Seorang negarawan ada untuk semua kubu politik, semua calon pemimpin. Itu karena seorang negarawan tak tersentuh sekat-sekat politik.
Seorang negarawan paham akan ciuman Pilatus sehingga ia berusaha menghindarinya. Ia paham rayuan politik sehingga ia berusaha menolaknya. Ia hanya menitipkan pesan-pesan moral dan etika untuk semua calon pemimpin.
Bukan karena dia oportunis, justru karena ia terlanjur paham semua dilema politik dan bisa memberikan jalan keluar. Itulah naluri kepemimpinan seorang negarawan yang bertanggung jawab.
Tanggung jawab itulah yang nyaris tidak dimiliki oleh politisi “menopause”. Lebih buruknya apabila politisi ini memanaskan suasana politik dan memancing permusuhan. Seperti tokoh sengkuni dalam Mahabharata, ia menghasut sang raja. Raja terjerat amarah dan menyuruh Kurawa menyerang Pandawa. Dalam politik kekinian, sengkuni itu biasanya dulu sebagai “kawan-jalan”, kini ia ikut “jalan-lawan”, lalu mengangkat jari saat pesta kemenangan politik “kawan lama”. Puaslah ia!
Kepuasan politisi “menopause” meningkat manakala namanya dibicarakan publik, ceritanya viral di medsos. Itu semakin membangkitkan gairah berpolitik di masa “menopause-nya”. Mirip psikologi para manula, ia mendongeng cerita lama untuk unjuk kehebatannya. Misalnya, kalau ia mantan bupati, ia mendongeng soal infrastruktur. Ia menggoreng emosi publik dengan mensoalkan pembangunan infrastruktur. Di situ tergelincirlah ia pada mental megalomaniak: dia saja yang hebat membangun, yang lain ngga!
Kisruh politik lokal biasanya bermula dari politisi “menopause” plus megalomaniak ini. Semakin elite politik meladeninya, ia akan semakin berulah. Ia pun akan semakin mengidentifikasikan kehebatan politiknya. Sebab sesungguhnya ia datang dari posisi yang minus rekognisi (:hilang pengaruh).
Karena itu, elite politik yang rasional tak perlu panik pada setiap cibiran atau narasi usang politisi “menopause”. Publik pun tak perlu menanggapi atau membicarakannya. Sebab, orasinya hanyalah angin tak berisi; celotehnya hanya mengulang nostalgia usang.
Karena politik hanya bisa dinikmati secara rasional, biarlah nostalgia itu menghibur politisi uzur itu. Karena politik itu soal masa depan, biarlah warga masyarakat memilih calon pemimpin dengan damai.
Inti kepemimpinan adalah tanggung jawab. Kepemimpinan itu bukan lagi soal otoritas, tetapi soal kapasitas untuk bisa berko-operasi. Artinya, pemimpin harus memiliki keahlian untuk mengadvokasi setiap orang untuk bersama-sama membangun daerah.
Tanpa kecerdasaan dan pengalaman, seorang pemimpin akan patah arang. Bahkan, ia berhenti pada otoritas dan cenderung otoriter. Jika pemimpin seperti ini bersekutu dengan politisi “menopause”, maka ruang publik hanya berisi partisi-partisi sosial dan politik. Tak ada ko-operasi, apalagi ruang diskusi “meja-bundar” (:dialog).
Tanggung jawab pemimpin adalah menentukan arah masa depan kehidupan bersama secara ko-operatif. Pemimpin seperti ini hanya muncul jika masyarakat jeli dan rasional dalam memilih politisi saat pesta demokrasi.
Seorang pemikir dan novelis asal Turki, Mehmet Murat ildan, pernah menulis, “a politician who has no compassion is nothing but an evil appariton; he is just a ghost, not a real man!” Publik akan terhindar dari “ghost” apabila tidak menina-bobokan rasio pada provokasi dan orasi nostalgis politisi “menopause”. Itu saja! (*)
CATATAN REDAKSI: apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada redaksi kami EMAIL.
Sebagaimana diatur dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.