
Penulis: Tim | Editor:
Gagasan-gagsan dasar tersebut dipastikan sebagai “budaya” yang masih hidup di tengah masyarakat Indonesia hingga saat ini. Mislanya, KKN merupakan salah satu “budaya” yang telah mendarah daging dan sulit untuk diberantas dan dihilangkan. Hal ini terbukti bahwa di era reformasi yang menurut Cak Nun juga menjadi era refot-nasi ini, kasus “KKN” banyak digelar di mana-mana tanpa ada penyelesaian yang memuaskan. Dengan pernyataan yang berbeda bahwa “Impian Wongso Mul” menawarkan ideologi-ideologi yang merupakan cermin nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Ideologi-ideologi tersebut ada yang bisa dianggap sebagai budaya residual maupun budaya dominan. Dalam “Impian Wongso Mul” memang terdapat kesepakatan antara Wongso Mul dan si Arsitek. Akan tetapi, kesepakatan tersebut bukanlah kesepakatan murni. Di balik kesepakatan itu ada konflik-konflik yang tersembunyi dalam diri si Arsitek dan tidak mungkin diungkapkan karena alasan tertentu. Dapat dikatakan bahwa terjadi hegemoni yang merosot karena ada potensi desintegrasi, yaitu mentalitas si Arsitek yang tidak sungguh-sungguh selaras dengan pemikiran Wongso Mul.
Sesungguhnya cerpen tersebut menggambarkan karakteristik kaum orde lama yang dibungkus rapi dan apik dalam baju dan polesan wajah reformis-transformis yang modern. Dengan baju dan wajah inilah mereka mengelabui wajah-wajah modern dan postmodern. Trik akal bulus yang diciptakan oleh mereka untuk menguasai dan memasukkan ideologi-ideologi mereka ke dalam jiwa-jiwa muda.
Ideologi-ideologi itu, antara lain ideologi imperialis, ideologi pembangunan yang mengorbankan rakyat, ideologi menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, ideologi kekerasan dan teror, serta ideologi yang mengawetkan kekuasaan dalam segala bentuk. Usaha pemasukan ideologi-ideologi ini mengakibatkan terbentuknya rancangan-rancangan ideologi yang destruktif dalam tubuh dan wajah hidup para generasi muda, apalagi bila generasi muda mencicipinya tanpa mengkritisinya.
Jika usaha ini berhasil, generasi muda dibaptis menjadi menantu pilihan sejati yang disukai, karena mereka telah hadir sebagai prototipe orisinal dari bapak mertuanya. Dalam gagasan ini dapatlah dipahami gejala langgengnya budaya tunduk, budaya santun yang berlebihan dan budaya menerima keadaan apa adanya sampai-sampai nilai kebenaran menjadi tumbalnya. Budaya-budaya inilah yang menjadi aset pelestarian ideologi-ideologi yang telah disebutkan di atas. Dengan paparan ini, Mangunwujaya hendak mengedepankan sebuah kritik sosial dan berusaha menarik perhatian pembacanya untuk selalu mengkritisi ideologi-ideologi lama yang berwajah baru.
Sementara itu, tokoh Inyong As adalah sosok tokoh yang mewakili tokoh jiwa-jiwa Post-modern yang penuh idealisme, vitalitas, dan kebebasan. Segala hal yang berbau keterbelengguan, kemapanan, penindasan terhadap kebebasan dan pengekalan mental priyayi merupakan pusat sorotan gerakan-gerakan dalam wacana-wacana mereka. Jiwa-jiwa mereka adalah jiwa-jiwa pemberontak yang menginginkan suatu perubahan yang berarti terhadap pembangunan kemanusiaan, bukan terhadap pembangunan fisik ala Bapak Wongsomulio. Mereka telah belajar dari sejarah yang telah dinodai dan dikibuli oleh generasi lama yang selalu ingin terus berbulan madu dengan pikiran neokolonialnya. Jiwa-jiwa Inyong adalah jiwa pembaru dengan idealismenya ingin mengubah dunia kea rah yang lebih baik. dalam wacana politik gagasan inilah yang dimaksud sebagai berjalan dalam koridor etika politik.

Namun, idealisme dan harapan selalu merupakan hambatan, bahkan ancaman yang menjebak, ketika keduanya Cuma hadir dalam tataran verbalisme dan gestikulasisme yang dangkal. Cita-cita dan harapan tidak menjadi bagian integral dalam seluruh perjuangan yang menyata dari Inyong-Inyong masa kini. Hal ini tampak jelas, bila mereka berada dalam dua tawaran yang sama-sama menuntut disposisi batin yang tajam dan kritis. Pertama, tawaran prestise dan prestasi yang dinilai berlebihan dan meruskkan, terutama bila tawaran itu muncul dari ideologi-ideologi yang secara faktis terus merusak citra kemanusiaan. Kedua, tawaran untuk tetap berkomitmen dengan idealisme yang luhur dan suci. Dalam konteks ini, bayang-bayang pengkhianatan terhadap cita-cita dan harapan kemanusiaan universal diharapkan menjadi bahan pertimbangan yang niscaya bagi manusia-kepala daerah yang punya komitmen penuh untuk mengabdi pada daerah, bangsa, dan Negara.
Bila tawaran pertama yang Inyong As terima, maka ia akan menjadi menantu dari orde bobrok. Pada pundaknya ia akan diwariskan ideologi-ideologi anti-sosial, anti-perubahan, anti-kemanusiaan, anti-cita-cita, dan anti masa depan. Bila Inyong As menerima tawaran kedua, maka Inyong As menjadi pejuang kemanusiaan yang punya komitmen penuh pada kemanusiaan.
Sebuah karya sastra adalah hasil kontemplasi pengarang dengan realitas kehidupan masyarakat, termasuk kehidupan perpolitikan. Dia menyentuh kehidupan pemerintahan seutuhnya. Dia menjembatani sisi-sisi kehidupan yang tidak terjangkau indra masyarakat; juga mengevaluasi kehidupan kepemimpinan kepala daerah dan pemerintahannya. Bahkan, sastra hadir untuk menampilkan jati diri kehidupan apa adanya masyarakat dan kursi pemerintahan yang sedang direbut oleh calon kepala daerah. Artinya, pada momen pilkada ini, sastra hadir sebagai cermin yang memantulkan kehidupan perpolitikan di daerah. Dalam cermin ini, masyarakat dapat membayangkan hidup dan dirinya yang telah, sedang, dan akan ia arungi oleh nakhoda kepala daerah pilihannya. Karena itu, dengan membaca sastra, masyarakat daerah membaca kehidupannya sendiri. “Impian Wongso Mul” adalah sebuah cermin yang baik buat menemukan bentuk dari para calon kepala daerah sekaligus menjadi wajah perias menuju keindahan politik yang menawan dan mengesankan seluruh masyarakat daerah. (*)
*)Pegiat Literasi dan Dosen PBSI Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng