Penulis: Petrus Selestinus | Editor:
Aksi tidak berperikemanusiaan yang keji dan sangat biadab karena membunuh satu keluarga, orang-orang yang tidak bersalah, lalu membakar rumah tinggalnya, di Dusun Lewonu, Desa Lembon Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah, pada 27 November 2020, sebagai aksi terorisme yang berhubungan dengan radikalisme dan Intoleransi.
Ini jelas aksi tindak pidana terorisme terkait radikalisme dan intoleransi atas dasar “SARA“, karena satu keluarga yang dibunuh dan 6 rumah warga berikut satu tempat ibadah dibakar, berasal dari umat berbeda agama, diduga dilakukan oleh kelompok Radikal Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Poso, sisa-sisa kelompok Santoso yang belum berhasil ditumpas dan bermukim di tengah hutan selama ini.
Negara harus mampu dan segera pulihkan trauma masyarakat, terutama rasa aman bagi masyarakat warga di Dusun Lewonu, Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah, agar konflik-konflik horizontal yang pernah terjadi pada masa lampau seperti peristiwa kerusuhan Poso I dan Poso II pada tahun 1999 dan 2002, tidak lagi terjadi dan berkembang di kabupaten tetangga di Provinsi Sulawesi Tengah atau tempat lain.
Negara Masih Setengah Hati
Kebijakan dan Keputusan politik negara, seharusnya memberi wewenang penuh kepada Polri dan TNI harus mampu memberikan jaminan rasa aman bagi warga setempat, menjamin tidak akan terulang dan tidak meluas aksi terorisme ini dan sekaligus menangkap dan memproses hukum kelompok pelaku yang membunuh secara sadis, warga Desa Lemban Tongoa yang tidak bersalah.
Peristiwa ini membuka lagi memori publik tentang konflik neraka Poso I, Poso II dan Poso III pada tahun 1998 dan 2000 lalu, sebagai konflik horizontal dan komunal atas dasar SARA di Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Oleh karena itu Pemerintah jangan bersikap setengah hati ketika hendak menghadapi aksi terorisme sebagai tindak pidana di wilayah manapun di Indonesia.
Peristiwa pembunuhan biadab atas dasar SARA di tengah umat beragama manapun di Indonesia, pertanda bahwa aksi terorisme yang berakar pada radikalisme dan intoleransi selama puluhan tahun di Indonesia, belum berhasil ditumpas, negara masih setengah hati bertindak, padahal tugas negara adalah melindungi seluruh warga negara dan seluruh tumpah darah Indonesia sesuai amanat UUD 45.
Tuntutan
Kongres Rakyat Flores, meminta Polri jangan biarkan peristiwa biadab di Desa Lemban Tongoa, menjadi cikal bakal atau babak baru lahirnya konflik horizontal atau membangunkan sel-sel konflik komunal horizontal. Poso yang pernah terjadi yang disebut konflik neraka di Poso ikut beraksi, mengingat Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso bertetangga dekat, hanya (25 km).
Kongres Rakyat Flores (KRF), mendesak agar POLRI mengusut tuntas peristiwa biadab berupa pembunuhan dan bakar rumah di Lemban Tongoa, Kabupaten Sigi melalui suatu penyelidikan “due proses of law” apakah peristiwa biadab ini terkoneksi dengan ceramah Rizieq Shihab beberapa hari lalu tentang ancaman penggal kepala di jalanan bagi siapa saja yang menghina Islam, Ulama, dan Nabi.
Peristiwa pembunuhan biadab atas dasar SARA di tengah umat beragama manapun di Indonesia, pertanda bahwa negara masih gagal bahkan setengah hati menumpas basis terorisme yang berakar pada radikalisme dan intoleransi selama puluhan tahun, padahal tugas negara adalah melindungi seluruh warga negara dan seluruh tumpah darah Indonesia sesuai amanat UUD 45. (*)
CATATAN REDAKSI: apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada redaksi kami EMAIL.
Sebagaimana diatur dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.