Penulis: Vincent Ngara | Editor:
Oleh: Henrico Fajar Kristiarji Wibowo
Setiap orang pasti mempunyai masa lalu entah baik atau buruk. Pengalaman menghadapi masa lalu itu dialami sendiri, bersama orang tua, saudara, teman, pasangan (pacar atau suami-istri). Bagi banyak orang menghadapi masa lalu yang buruk bukan merupakan hal yang mudah, terkadang pengalaman masa lalu itu menjadi dendam yang suatu saat bisa muncul kembali. Apalagi disaat kita sedang mengalami peristiwa atau kondisi tertentu yang membuat kita teringat akan peristiwa buruk beberapa waktu yang lalu. Hal ini tentu saja bisa berdampak buruk pada kondisi psikologis seseorang, trauma berkepanjangan, tertekan dan relasi personal dengan seseorang juga bisa terganggu sehingga menjadi tidak harmonis.
Beberapa waktu yang lalu saya berjumpa dengan seorang laki-laki, usianya 38 tahun, Dia adalah seorang bapak dengan seorang istri, 38 tahun dan 2 orang anak, perempuan dan laki-laki, masing-masing berusia 7 tahun dan 7 bulan. Dia menceritakan kepada saya tentang kondisi rumah tangganya yang sudah berjalan selama 8 tahun yang penuh dengan berbagai persoalan. Diantaranya masalah komunikasi yang tidak harmonis hingga masalah ekonomi, selain itu istrinya kerap kali melakukan kekerasan kepadanya baik secara fisik maupun psikis.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dipicu oleh banyak faktor. Berdasarkan hasil Pendataan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2016 mengungkapkan terdapat 4 (empat) faktor penyebab terjadinya kekerasan fisik dan/atau seksual terhadap perempuan yang dilakukan oleh pasangan yaitu faktor individu, faktor pasangan, faktor sosial budaya, dan faktor ekonomi.
Fakta berbicara bahwa perempuanlah yang paling sering menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Namun tidak menutup kemungkinan laki-laki bahkan mungkin juga anak-anak pun bisa menjadi korban KDRT. Bila situasi di dalam keluarga tidak kondusif, kualitas komunikasi yang buruk, adanya pihak ketiga, kondisi ekonomi yang memburuk, tidak adanya keteladanan dalam keluarga dan sebagainya, maka KDRT sangat mungkin bisa terjadi.
Setiap orang mempunyai latar belakang dan masa lalu yang berbeda-beda. Ada yang dulu mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari orang lain, misalnya menjadi korban kekerasan, atau dahulu sering dimanjakan orang tua dengan berbagai macam fasilitas, setelah tumbuh dewasa menjadi pribadi yang manja dan cenderung tidak bertanggungjawab, bukan tidak mungkin mereka bisa menjadi pelaku kekerasan. Ini sebenarnya yang harus dilihat kembali dalam proses pengenalan diri. Seseorang yang akan menikah bukan saja perlu mengenal diri sendiri, tetapi lebih dari itu, mereka harus mengenal diri calon pasangan secara lebih utuh, bukan sebagian saja.
Saya jadi teringkat sebuah buku yang berjudul “Menikah Adalah Bunuh Diri” karya Josua Iwan Wahyudi. Ada sebuah kutipan yang menarik ”Jika pertemuan Pria dan Wanita selalu memunculkan konflik, mengapa mereka masih saja tertarik hidup bersama?” Realitasnya pernikahan tidak selamanya baik-baik saja, ada banyak kerikil-kerikil permasalahan yang muncul selama hidup bersama dengan pasangan kita.
Meredakan konflik dalam rumah tangga tidaklah mudah. Butuh komitmen bersama untuk bersedia mengakui kesalahan yang dibuat kepada pasangan maupun anggota keluarga kita yang lainnya. Selain itu bersedia menjadi pribadi yang pemaaf dan tidak keras kepala. Seorang laki-laki menjadi pelaku KDRT sangat sering dijumpai, sedangkan perempuan menjadi pelaku KDRT pun mungkin saja bisa terjadi. Semua pasti ada pemicunya dari pengalaman masa lalu yang berkorelasi dengan kondisi saat ini.
Kembali ke cerita bapak tadi, sebenarnya sudah ada upaya untuk meredakan konflik dalam rumah tangganya. Bersama dengan istrinya, pernah berkonsulitasi dengan keluarga besarnya, saudara, teman bahkan sampai datang ke pemuka agama untuk membantu menyelesaikan konflik dalam rumah tangganya supaya bisa mereda.
Namun rupa-rupanya belum ada titik temu hingga saat ini. Istrinya memiliki karakter keras kepala, emosional, suka marah-marah dan tidak mudah menerima masukan dari orang lain. Orang lain oleh dia dianggap sebagai pihak yang salah dan tidak mempunyai hak untuk memberikan masukan bagi rumah tanggannya. Alhasil situasi rumah tangga ini pun tak kunjung membaik. Bahkan saking frustasinya, bapak ini pernah beberapa kali mencoba bunuh diri, walaupun niatan tersebut selalu bisa dicegah saat teringat anak-anaknya yang masih kecil.
Memperbaiki komunikasi dengan istri selalu dilakukan, selain itu beribadah bersama dengan seluruh anggota keluarga juga selalu dilakukan. Bahkan setiap hari segala pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, mencuci, memasak dan sebagainya dilakukannya. Namun rupanya ini pun tidak cukup ampuh untuk menumbuhkan rasa simpati dan empati dari istrinya. Saya jadi berpikir bagaimana rasanya hidup dalam tekanan selama 8 tahun? Pasti tidaklah mudah. Jatuh bangun mempertahankan rumah tangga harus dilakukan, semua harus terlihat baik-baik saja dihadapan banyak orang. Padahal dia menyimpan begitu banyak luka batin yang tidak mudah untuk dipulihkan.
Ah, betapa rumitnya masalah ini. Tapi inilah kehidupan berumah tangga. Ada suka dan duka, semua tergantung bagaimana kita memaknainya, mengelola dan menjalaninya bersama pasangan dan anak-anak kita. Seandainya istri dari bapak itu mampu berdamai dengan masa lalunya, sangat mungkin dia tidak menjadi pelaku kekerasan lagi. Menurut cerita dari si bapak, saat usia 6 tahun istrinya pernah menjadi korban kekerasan seksual dari pamannya dan pada saat usia 9 tahun dia pernah melihat bapaknya melakukan kekerasan fisk dan psikis terhadap ibunya. Ingatan itu masih saja ada dalam dirinya. Maka berdamailah dengan masa lalu agar mata rantai kekerasan bisa berakhir.
*)Penulis Bergiat di SPEK-HAM yang beralamat di Jl. Srikoyo No. 20 Karangasem, Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah.
HP: 085643207860
Email: henricofajar27@gmail.com bangfajar41@yahoo.com
CATATAN REDAKSI: apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada redaksi kami EMAIL.
Sebagaimana diatur dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.